DPR Inggris Dukung Pengakuan Negara Palestina
LONDON, SATUHARAPAN.COM – Parlemen Inggris House of Commons (setara DPR) mengambil suara untuk mendukung pengakuan atas negara Palestina pada Senin (13/10) malam dalam langkah yang tidak akan mengubah sikap pemerintah terhadap masalah ini, tapi membawa nilai simbolis bagi Palestina dalam mengejar status sebagai negara yang diakui internasional.
Hasil pemungutan suara DPR Inggris adalah 274-12 untuk meloloskan gerakan tak-mengikat yang menyatakan: “ DPR berpendapat bahwa Pemerintah harus mengakui negara Palestina berdampingan dengan negara Israel sebagai sumbangan untuk mengamankan negosiasi solusi dua negara.”
Inggris tidak mengklasifikasikan “Palestina” sebagai sebuah negara, tetapi mengatakan itu bisa dilakukan kapan saja jika mereka yakin pengakuan itu akan membantu upaya perdamaian antara Palestina dan Israel. Anggota kementerian memilih abstain dan keputusan dengan suara tidak mengikat ini tidak akan memaksa Inggris untuk mengakui negara Palestina.
Hampir 50 anggota parlemen berada di ruang untuk mendengar anggota parlemen pro-Palestina dari Partai Buruh, Backbencher Grahame Morris membuka perdebatan empat jam. Menurut Morris, ini adalah kesempatan bagi Inggris untuk menebus kesalahan bersejarah—referensi yang jelas untuk Deklarasi Balfour.
Pada 1917, Menteri Luar Negeri Arthur Balfour menjanjikan tanah air bagi orang-orang Yahudi di Palestina. Deklarasi ini menjadi dasar pembentukan negara Israel tiga dasawarsa kemudian. Konflik ini kemudian terus mengobrak-abrik daerah Palestina hingga hari ini.
Morris dan partainya tahu sebelumnya bahwa dengan dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya dari Partai Buruh—yang secara tradisional partai politik ini tidak memberi tahu anggota parlemen tentang mana yang harus dipilih sebagai bagian dari partai oposisi—seruannya kepada pemerintah Inggris untuk mengakui Palestina negara akan lolos. Mungkin oleh mayoritas besar.
Beberapa anggota parlemen senior Partai Buruh yang pro-Israel, termasuk sejumlah anggota kabinet bayangan, marah oleh keputusan pemimpin partai Ed Miliband dan Menteri Luar Negeri Bayangan Douglas Alexander untuk mendukung anggota Partai Buruh untuk mendukung gerakan Morris. Mereka mengeluarkan ‘tiga garis cambuk’ yang dipahami untuk siap menentang instruksi dan abstain pada pemungutan suara yang jatuh tempo pada pukul 10.00 waktu Inggris.
Mantan Menteri Luar Negeri Jack Straw berhasil memindahkan amandemen naskah yang menyatakan bahwa pengakuan negara harus disepakati sebagai 'kontribusi' menuju solusi dua negara. Dia mengatakan jika Israel punya pemikiran sendiri dan pengakuan harus ditunda sampai kesepakatan tercapai antara Israel dan Palestina, maka itu membuat Israel punya kesempatan untuk veto atas negara Palestina.
Straw mengingatkan DPR bahwa orang Palestina tidak pernah veto atas pembentukan Negara Israel.
Argumen yang berlawanan diajukan oleh mantan Menteri Luar dari Partai Konservatif Malcolm Rifkind yang mengatakan kepada anggota parlemen bahwa itu tidak mungkin untuk mengakui negara yang tidak memiliki batas, tidak ada tentara, maupun pemerintah. Palestina kata dia, saat ini memiliki dua administrasi dan tidak memenuhi syarat untuk 'pengakuan'. Juga ia mencatat, Inggris tidak mengakui negara Israel hingga 1950 setelah perbatasannya dan pemerintah dan mapan.
Sebuah amandemen yang telah diusulkan oleh anggota Conservative and Labor Friends of Israel dan yang akan membuat pengakuan bersyarat pada keberhasilan solusi negosiasi dua negara, tidak dipilih oleh Juru Bicara DPR John Bercow.
Akibatnya anggota parlemen malah dihadapkan dengan pilihan suara untuk pengakuan “sebagai kontribusi” menuju perdamaian atau sebaliknya. Banyak anggota parlemen Konservatif—yang bersama dengan Menteri Pemerintah dibebaskan memilih—malahan abstain.
Seorang pendukung terkemuka Israel Guto Bebb menyimpulkan pilihan politik yang ia hadapi. Ia ungkapkan dalam sebuah artikel Senin di Daily Telegraph, menunjukkan bahwa terlepas dari hasil pemungutan suara, posisi Pemerintah Inggris tidak akan berubah dan opini internasional tidak akan terpengaruh oleh perdebatan anggota parlemen Inggris dari oposisi.
Dia menyarankan bahwa ia dan rekan Konservatif seharusnya tidak memilih saat Partai Buruh “membawa ruang Commons menjadi forum kebijakan sendiri”. Dan, setelah hari pertama kembali dari reses, banyak anggota parlemen tampaknya telah mengambil keputusan yang sama.
Argumen itu namun dimentahkan oleh Jack Straw, yang membuat jelas simbolisme suara terlepas dari bagaimana hal itu dicapai jauh lebih penting dan pesan kepada semua di luar Inggris akan sangat jelas.
Menteri Pemerintah Timur Tengah Tobias Ellwood dan Juru Bicara Bayangan Buruh Ian Lucas yang mengarahkan kepada anggota parlemen selama perdebatan, dengan Menteri diharapkan untuk mengatakan bahwa Inggris ingin melihat pembentukan negara Palestina hidup layak berdampingan dengan Israel.
Tapi, dia memberi tahu anggota parlemen bahwa hanya melalui proses negosiasi dan mengakhiri pendudukan, maka negara Palestina bisa menjadi kenyataan. Sejauh pemerintah saat ini khawatir mereka akan memilih saat itu adalah waktu yang paling tepat untuk memberikan pengakuan dan itu akan menjadi saat mereka dianggap terbaik akan menyediakan untuk perdamaian penuh.
Pilihan itu tersebut diharapkan dapat memberikan lobi Palestina baik di Inggris dan lebih jauh perasaan kemenangan bersejarah tapi menjadi simbolik dan non mengikat, seperti dicatat Grahame Morris, itu tidak akan mengubah fakta di lapangan. (jerusalempost.com)
Baca juga:
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...