DPR Soroti UU Keistimewaan DIY tentang Gubernur
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta(DIY) menjadi polemik tersendiri bagi Indonesia. Tim Pemantau Undang-Undang No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diminta untuk lebih komprehensif dalam mengkaji berbaga persoalan terkait dengan hal itu.
“Tim Pemantau harus memandang keistimewaan DIY dengan terlebih dahulu mencoba memahami UU Keistimewaan DIY, Peraturan Daerah Istimewa (Perdais), dan kepentingan masyarakat secara lebih luas,” ujar Esti Wijayati, anggota DPR asal DIY.
Salah satu tujuan dibuatnya UU tentang keistimewaan suatu daerah ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. UU Keistimewaan DIY, lanjut Wijayati, dibentuk berlandaskan asas pengakuan atas hak asal-usul kerakyatan, demokrasi, kebinekatunggalikaan, efektivitas, kepentingan nasional, dan pendayagunaan kearifan lokal.
Keistimewaan DIY, sebagaimana tertuang dalam UU, diterjemahkah ke dalam lima hal, yakni tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang gubernur dan wakil gubernur, kelembagaan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY, kebudayaan, pertanahan dan tata ruang.
“Ada beberapa hal prinsip yang harus diperhatikan. Turunan UU Keistimewaan mensyaratkan DPRD atau Pemerintah Provinsi untuk menyusun Perda Istimewa. Artinya, Perda Keistimewaan bukan mengatur Kraton, melainkan membahas tentang pemerintah yang bersifat istimewa,” kata Wijayati.
Ia menambahkan, “Terdapat perbedaan pendapat di kalangan DPRD DIY ataupun masyarakat Yogyakarta mengenai calon gubernur mendatang.”
Terkait pencalonan Gubernur DIY yang harus menyertakan daftar riwayat hidup istri tidak perlu diperdebatkan lagi karena memang sudah tertuang dalam UU DIY. Menurut Wijayati, hal itu sudah diserahkan sepenuhnya kepada Keraton. “Memang semestinya tidak boleh ada diskriminasi politik, dalam hal laki-laki dan perempuan,” dia menjelaskan. Pihaknya juga sudah mendengar masukan Gubernur DIY, Raja Kasultanan Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang mengharapkan klausul itu diganti dengan daftar riwayat hidup suami/istri.
“Itulah yang terbaik untuk DIY. Persoalan yang menjadi calon gubernur berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, itu sudah ada mekanisme di keraton (paugeran) dan DPR RI/DPRD DIY/siapa pun tidak boleh mengintervensi paugeran di kasultanan.” ujar anggota fraksi PDIP tersebut. (dpr.go.id)
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...