Loading...
DUNIA
Penulis: Reporter Satuharapan 16:40 WIB | Rabu, 13 Desember 2017

Dr Hanan Ashrawi, Pejuang Perdamaian Palestina

Dr Hanan Ashrawi. (Foto: UN Thruth)

SATUHARAPAN.COM – Nama Hanan Ashrawi tidak dapat dipisahkan dari perjuangan bangsa Palestina. Menjadi juru bicara dalam berbagai perundingan perdamaian, hingga memangku berbagai jabatan penting Otoritas Palestina, kini, menginjak usia 71 tahun, tak menyurut semangat perjuangannya.

Anggota senior Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) ini belum lama mengecam Wakil Presiden AS Mike Pence, yang menyesalkan Presiden Palestina Mahmoud Abbas menolak bertemu dengannya.

Dalam wawancara dengan Al Jazeera, pada hari Senin (11/12/2017) Hanan Ashrawi, wanita pertama menurut catatan Wikipedia yang menjadi anggota Dewan Nasional Palestina, mengatakan bahwa AS, yang melakukan pembicaraan damai Israel dan Palestina, menjadi “tidak relevan dan tidak berguna” dengan pengakuannya atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel belum lama ini.

“Pemerintah AS benar-benar telah merobek dasar hukum untuk perdamaian di wilayah tersebut dengan pengakuan mereka atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel,” katanya.

“Pemerintahan Trump telah menghancurkan setiap komponen perdamaian antara Israel dan Palestina. Mereka berpihak pada penjajah Israel.”

Wapres Pence dijadwalkan bertemu Mahmoud Abbas di Bethlehem pada tanggal 19 Desember sebagai bagian dari tur regional. Namun, pemimpin Palestina tersebut menarik diri dari pertemuan setelah AS secara kontroversial mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pekan lalu.

Alyssa Farah, sekretaris pers Pence, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada hari Minggu, mengemukakan, “Sangat disayangkan Otoritas Palestina menarik diri dari sebuah kesempatan untuk membahas masa depan kawasan ini.”

“Tapi pemerintah tetap tidak terpengaruh dalam upaya untuk mencapai perdamaian antara Israel dan Palestina dan tim perdamaian kami tetap berusaha menyusun rencana,” ia menambahkan.

Keputusan AS untuk memindahkan kedutaannya ke Yerusalem menuai kutukan internasional dan memicu gelombang protes. Warga Palestina memandang Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara mereka di masa depan.

Keluarga Kristen Palestina

Wakil Presiden Pence, dalam sebuah tulisan di BBC, disebut-sebut sebagai “suara berpengaruh” dalam meyakinkan Presiden Donald Trump untuk memenuhi janji kampanyenya, mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan hal itu menggambarkan kekuatan politik dari Evangelis Kristen garis keras yang mendukung penuh Israel.

Pengaruh Pence itu tak lepas dari pengamatan Hanan Ashrawi, legislator Palestina, yang juga salah satu tokoh Kristen Palestina.

“Tuhan saya tidak memberi tahu apa yang disampaikan oleh tuhannya,” kata Ashrawi, dalam wawancara dengan BBC.

“Kami, adalah Kristen turun-temurun. Kami pemilik tanah itu. Kami adalah orang-orang yang sudah di sana selama berabad-abad. Berani-beraninya mereka datang ke sini dan memberikan ayat Injil dan posisi absolutis!”

Hanan Ashrawi dilahirkan di Kota Nablus, 8 Oktober 1946, dari keluarga Kristen Palestina. Kota Nablus, masuk Mandatori Inggris untuk Palestina, sekarang menjadi bagian Tepi Barat. Mengutip dari Wikipedia, ayah Hanan, Daoud Mikhail, adalah dokter dan salah satu pendiri Organisasi Pembebasan Palestina. Ibunya Wadi’a Ass’ad Mikhail, adalah seorang perawat oftalmik.

Keluarga Ashrawi pindah ke Kota Tiberias yang hangat di utara, dari Kota Nablus, sampai perang Palestina pada tahun 1948. Pada tahun 1948 Keluarga Mikhail dipindahkan oleh pasukan Mandat Inggris dari Tiberias ke Amman, Yordania.

Pada tahun 1950, keluarga Ashrawi bisa tinggal di Ramallah. Hanan masuk sekolah Ramallah Friends Girls School, sekolah untuk anak perempuan.

Terinspirasi oleh aktivitas ayahnya, Hanan menjadi aktivis gerakan perempuan sejak usia muda. Beberapa kali ia harus masuk penjara atas aktivitasnya di Partai Sosialis Nasionalis Arab dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Namun demikian, Hanan berhasil meraih gelar sarjana dan magister dalam literatur di Departemen Bahasa Inggris di American University of Beirut.

Ketika Perang Enam Hari pecah pada tahun 1967, Hanan yang berusia 22 tahun dan berada di Lebanon, ditolak masuk oleh Israel ketika akan kembali ke Tepi Barat. Pengalaman pahit itu justru melecutnya untuk meneruskan pendidikan hingga mendapatkan gelar PhD dalam Sastra Abad Pertengahan dan Komparatif dari Universitas Virginia, AS. Hanan baru diizinkan bergabung kembali dengan keluarganya pada tahun 1973.

Hanan, yang menikah dengan Emil Ashrawi, juga dari keluarga Kristen Palestina, dikaruniai dua anak perempuan, Amal (lahir 1977) dan Zeina (lahir 1981). Kepada New York Times, dalam wawancara pada tahun 1994, ia mengatakan bukan hal yang mudah baginya untuk membagi waktu antara kepentingan bangsa dan kepentingan keluarga.

“Saya bekerja 12 – 14 jam untuk perjuangan Palestina,” kata Hanan, pemimpin penting selama Intifadah Pertama, yang pernah menjabat Menteri Penerangan.

Pada sisi lain, ia menceritakan pengalamannya bagaimana di sela-sela kesibukan tetap harus menyediakan waktu pada saat anaknya memerlukannya. “Zeina pada usia 6 tahun sempat memprotes, ‘aku sudah meminjamkan Ibu bekerja untuk perdamaian, tapi aku juga perlu Ibu ada di sisiku’,” Hanan menirukan ucapan putri bungsunya.

Walau melalui masa-masa sulit, ia bersyukur tetap dapat mendampingi dan mengikuti perkembangan ketika anak sulungnya beranjak dewasa.

Berbagai Penghargaan    

Hanan Ashrawi kemudian dikenal sebagai pendukung setia banyak isu hak asasi manusia dan gender. Ia menerima berbagai penghargaan perdamaian internasional, hak asasi manusia dan demokrasi, seperti Penghargaan Olof Palme, Defender of Democracy Award, Penghargaan Kepemimpinan Wanita Jane Addams, Penghargaan dari University of Virginia Women’s Center, Penghargaan Internasional Mahatma Gandhi untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi.

Pada tanggal 26 September 2009, dalam sebuah wawancara dengan Riz Khan One on One di Al Jazeera English, ia mencoba mendefinisikan perannya saat ini, “Saya menganggap diri saya dasarnya sebagai manusia dengan misi multidimensi. Pada dasarnya, saya seorang Palestina, saya seorang wanita, saya adalah seorang aktivis dan seorang humanis, lebih dari sekadar politisi. Dan pada saat bersamaan saya merasa berbagai hal lebih sering disodorkan kepada kita daripada datang sebagai pilihan yang kita sengaja.”

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home