Dua Doa
Pemungut cukai itu percaya bahwa Tuhan Mahatahu. Bagi dia, yang terlogis ialah tidak menutupi kesalahannya. Dia hanya perlu mengakui dosanya.
SATUHARAPAN.COM – ”Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.” (Luk. 18:10). Demikianlah Sang Guru dari Nazaret memulai perumpamaannya. Perbedaan keduanya amat mencolok.
Orang Farisi itu—meski dalam hati—membeberkan segala capaiannya. Dengan bangga dia berdoa: ”Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku” (Luk. 18:11-12).
Agaknya dia lupa bahwa Allah itu Mahatahu. Sehingga dia merasa perlu menjelaskan kiprahnya di hadapan Allah. Tak hanya itu, dia juga merasa perlu membanding-bandingkan dirinya dengan pemungut cukai yang hari itu bersama dengan dia—sama-sama berdoa—di Bait Allah.
Pemungut cukai itu lain sikapnya. Dia kelihatannya tahu diri. Dia menyadari keberadaannya. Tak sedikit orang menjauh darinya karena profesinya. Kalau manusia berdosa saja berbuat demikian; bagaimana dengan Sang Mahasuci?
Tak heran, dia merasa perlu berdiri jauh-jauh, tak berani menengadah ke langit, memukul dirinya dan berkata, ”Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” (Luk. 18:13).
Pemungut cukai itu percaya bahwa Tuhan Mahatahu. Bagi dia, yang terlogis ialah tidak menutupi kesalahannya. Dia hanya perlu mengakui dosanya.
Itu jugalah yang digemakan Ahasverus van den Berg dalam syairnya—direkam dalam Kidung Jemaat 25:1—”Ya Allahku, di cah’ya-Mu tersingkap tiap noda. Kau lihatlah manusia penuh lumuran dosa.”
Itu pulalah doa umat manusia di sepanjang abad. Yeremia misalnya berdoa: ”Ya Tuhan, kami mengetahui kefasikan kami dan kesalahan nenek moyang kami; sungguh, kami telah berdosa kepada-Mu.” (Yer. 14:20).
Sikap doa keduanya memang berbeda. Yang satu merasa lebih baik dari yang lain. Orang Farisi itu merasa diri orang pilihan. Dia juga merasa bangga bisa menaati aturan-aturan Tuhan dalam hidupnya.
Sebaliknya, pemungut cukai itu tak merasa perlu membandingkan dirinya. Lagi pula, apa pula yang mau dibandingkan? Dia sadar, di hadapan Tuhan tak ada alasan untuk memegahkan diri.
Dan karena itulah, Yesus menegaskan, ”Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak.” (Luk. 18:14).
Editor : Yoel M Indrasmoro
KPK Tetapkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, Tersangka Kasus...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDI Perju...