Effendy Soleman dalam Kenangan
SATUHARAPAN.COM – “Tak ada pelayar tak rindu pulang ke darat. Tapi juga tak ada pelayar tak rindu balik ke laut. Kembali meniti buih, mengarung ombak demi ombak, menjangkau impian. Juga Pendi. Masih banyak mimpi bergejolak di hati dan pikirannya. Mimpi tentang Indonesia sebagai negeri bahari yang benar-benar diakui dunia, sebagaimana pengakuan dunia pada nenek moyang bangsa ini…”
Kalimat di atas dikutip dari Jukung Lintas Nusa, buku yang ditulis Heryus Saputro, yang berkisah tentang pelayaran solo Effendy Soleman, nama lengkap Pendi, yang disebutkan di atas. Ia adalah pelayar, salah satu yang terbaik yang dimiliki negeri ini, yang ia buktikan dengan prestasi dan penghargaan yang ia terima.
Dengan jukung yang dibuat dan diujicoba di Desa Sangsit, Buleleng, Singaraja, Pendi, untuk kesekian kalinya berlayar sendiri, menempuh jarak Bali – Brunei Darussalam, 28 April – 4 Oktober 2013.
Dan, bagi Pendi, pelayaran ke Brunei Darussalam seorang diri itu bukan pelayaran pertama. Pelayaran pertama, menempuh jarak Jakarta – Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, pergi-pulang, dengan perahu cadik, ia lakukan pada 1988. Pelayaran 25 tahun itu pelayaran terjauh, seorang diri, yang ia lakukan.
Pelayaran tunggal Jakarta – Brunei Darussalam itu mendorongnya untuk semakin mengakrabi laut. Berlayar Jakarta – Toboali, Bangka, beberapa kali ia lakukan, seorang diri ataupun bersama teman-teman. Ia juga berlayar ke Penang, Malaysia, pada 1996. Pada 2004, dengan perahu layar katir Pendi berlayar ke Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan katir pula ia berlayar menempuh jarak Sabang – Merauke pada 2012.
Penggal akhir Juni lalu ia mengabarkan niatnya kembali berlayar, Sabang – Merauke. Itu akan menjadi pelayaran Pendi kedua, setelah sebelumnya menempuh rute pelayaran itu pada 2012, namun perjalanannya terhenti di perairan Makassar.
Pertanyaan bermunculan ketika ia menyampaikan keinginannya itu. Bukan hanya karena usianya sudah menginjak 63 tahun, usia senja untuk pelayaran solo, namun juga karena ia tidak mulus menyelesaikan pelayarannya ke Brunei Darussalam tahun lalu. Ia sempat terserang malaria ketika mencapai Pontianak, Kalimantan Barat, yang menjadi salah satu penyebab pelayaran yang seharusnya ia selesaikan tiga bulan molor menjadi enam bulan.
Namun, itulah Pendi. Pantang surut langkah ia mengkampanyekan bukan hanya kegiatan di laut, namun juga memperkenalkan kekayaan bahari lewat perahu-perahu tradisional, seperti cadik, katir, dan jukung. Ia selalu berapi-api mengingatkan kejayaan pelaut Indonesia sejak zaman dahulu kala. Ia selalu bersemangat menceritakan mimpi-mimpinya kembali menggelorakan kejayaan Indonesia di dunia bahari.
Tetapi, Tuhan ternyata berkehendak lain. Mimpi itu berakhir. Pendi berpulang ke pangkuan-Nya, Kamis (10/7) pukul 23.15, setelah sejak 9 Juli menjalani perawatan di RS Sari Asih, Ciputat, dalam usia 63 tahun. Ichien Syamsirwan, salah satu teman dekat yang menungguinya pada akhir-akhir hidupnya, mengatakan paru-paru Pendi tidak berfungsi baik. Pendi yang meninggalkan istrinya, Gustianingsih (24), dan anak semata wayangnya, Mala Soleman (5), dimakamkan di TPU Curug Babakan, Jalan Pasar Jengkol, Serpong.
Kabar itu menjadi jawaban final ketidakhadirannya dalam pertemuan membahas rencana pembuatan buku perjalanannya berikutnya. Sehari setelah mengabarkan niatnya berlayar Sabang – Merauke, ia sempat memberitahukan harus segera ke rumah sakit untuk memeriksakan maag.
Penghargaan-penghargaan
Effendy Soleman mengakrabi kegiatan petualangan di alam bebas sejak sekolah menengah. Ia gemar mendaki gunung. Kegiatan itu semakin berkembang ketika ia bekerja di Mutiara. Tabloid yang diterbitkan PT Sinar Kasih itu menyediakan suplemen KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) dan Kaonak. Rubrik Kaonak khusus membahas kegiatan kepencintaalaman di Indonesia.
Minat Pendi pun berkembang. Ia menekuni penelururan gua (caving) dan arung jeram (white water rafting). Ternyata, itu semua belum cukup. Pada suatu masa ia mondar-mandir dari Cawang, tempatnya berkantor di Jakarta, menuju Pangkalan Angkatan Udara Husein Sastranegara (kini bandar udara internasional, Red), Bandung. Pendi menekuni terjun payung, hingga berhasil meraih brevet wing penerjun.
Namun, Pendi akhirnya “melabuhkan hatinya” ke kegiatan laut. Bagaimanapun, ia yang dilahirkan di Jakarta pada 23 April 1951, dan tak pernah bersinggungan dengan laut itu, punya darah Bugis-Makassar dari pihak ibu, yang dikenal dengan tradisi melautnya. Kegiatan melaut itu memungkinkannya mempunyai banyak “saudara” dan banyak “orang tua” angkat di berbagai daerah di pelosok negeri ini.
Kegiatan melaut itu pula yang pada akhirnya mengantar Pendi mendapatkan berbagai penghargaan. Presiden Soeharto menganugerahinya gelar Pemuda Pelopor Bidang Bahari Tingkat Nasional. Persatuan Olahraga Layar Indonesia memberinya penghargaan Pelayar Lepas Pantai Tunggal Pertama Indonesia.
Pendi juga mendapat gelar kehormatan Daeng Nakku, gelar yang dengan bangga ia pajang di belakang namanya. Wali Kota Makassar memberikan gelar yang bermakna “yang selalu dirindukan” itu kepada Pendi ketika ia menggelar pelayaran Sabang – Merauke 2012 dengan perahu layar katir.
Pendi memang sudah menularkan kecintaannya kepada laut kepada teman-temannya, juga kepada penggemar kegiatan cinta alam generasi di bawahnya. Namun, ia selalu merasa upayanya tidak cukup. “Kadang terasa juga apa yang gue lakukan ini seperti menggarami lautan. Tapi, siapa lagi?” kata Pendi, yang acap melontarkan keprihatinannya melihat kenyataan anak-anak dari negara kepulauan ini jarang, atau bahkan tidak ada, yang punya keinginan menjadikan lautan luas bagian dari kehidupannya.
Selamat jalan, Pendi.
Stray Kids Posisi Pertama Billboard dengan Enam Lagu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Grup idola asal Korea Selatan Stray Kids berhasil menjadi artis pertama d...