Ekonom: Mau Rupiah Stabil? Pemerintah Jangan Anti Pasar
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia 1946 (BNI) Ryan Kiryanto menilai apabila ingin nilai tukar rupiah Indonesia menguat diharapkan pemerintah jangan mengeluarkan kebijakan yang masuk kategori anti pasar.
“Tugas pemerintah adalah meyakinkan pelaku pasar bahwa kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah itu betul-betul spiritnya adalah investor friendly atau market friendly. Bukan kebijakan-kebijakan yang masuk kategori anti pasar,” kata Ryan Kiryanto kepada satuharapan.com usai Focus Group Discussion "Menelisik keengganan UMKM Bankable dalam Mengakses Dana Perbankan" di IPMI Campus, Jakarta, Senin (15/6).
Selanjutnya, menurut Ryan, memang ini tidak bisa diterima oleh pelaku pasar seketika, tapi kalau kebijakan ini terus dikomunikasikan dengan baik dengan pelaku pasar maka cepat atau lambat kepercayaan pelaku pasar akan kembali kepada ekonomi Indonesia, kepada kebijakan pemerintah.
“Dan ujung-ujungnya mengembalikan juga kepercayaan mereka kepada rupiah kita,” kata dia.
Menurut Ryan, depresiasi mata uang asia memang terjadi sebagai dampak dari pada rencana The Fed (Federal Reserve System/bank sentral Amerika Serikat) menaikan suku bunga yang mungkin dilakukan paling cepat bulan September tahun ini, atau selambat-lambatnya kuartal I pada 2016 nanti.
Menurut dia, Bank Indonesia (BI) tetap berada di pasar melakukan intevensi-intervensi dalam rangka menstabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya.
“Memang nilai fundamental rupiah itu dalam hitungan saya sekitar Rp 13.000 per satu dolar Amerika Serikat. Jadi kalau hari ini rupiah masih dikisaran Rp 13.300 itu undervalued, nilai mata uang kita terlalu murah,” kata dia.
Oleh karena itu untuk mengembalikan rupiah kepada titik keseimbangan yang baru, yaitu Rp 13.000 per satu dolar, lanjut Ryan, maka yang perlu dilakukan oleh BI adalah terus memantau perkembangan harga rupiah di pasar.
“Lalu (BI) melakukan tindakan-tindakan intervensi agar rupiah kembali ke level yang stabil,” kata ekonom itu.
Sebelumnya, Ryan dalam sebuah kesempatan mengingatkan bahwa depresiasi rupiah yang tajam belakangan ini tidak bisa dianggap sepele. Sebab, kata dia, depresiasi rupiah terkait dengan berbagai indikator ekonomi makro lainnya, yang pada ujungnya membuat perlambatan pertumbuhan ekonomi.
"Mata uang rupiah sepanjang tahun lalu dan berlanjut tahun ini makin menyulitkan kegiatan perekonomian. Bahan baku dan bahan setengah jadi harus diimpor membuat pengusaha kesulitan melakukan kegiatan bisnisnya," kata dia, dalam sebuah ulasannya di infobanknews.com
Menurut dia, kegiatan ekonomi yang meredup membuat perekonomian tumbuh melambat, terlihat dari capaian kuartal pertama 2015 yang hanya 4,71%. Kepercayaan pelaku pasar pun merosot atas kinerja ekonomi yang melemah, yang terlihat dari perkembangan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang anjlok secara tajam dalam beberapa pekan terakhir.
Menurut Ryan, Indonesia yang berupaya menggenjot investasi di bidang infrastruktur pada gilirannya akana memicu impor. Sementara itu, ekspor dinilai belum mampu memberikan dampak signifikan di tengah menurunnya harga komoditas. Hal itu berdampak pada peningkatan defisit transaksi berjalan (DTB) yang semakin melebar yang membuat rupiah sulit untuk menguat.
"Jika rupiah melemah, bakal memperbesar kebutuhan Indonesia terhadap dolar AS, sehingga kian menguatkan nilai tukar dolar AS. Sejauh ini Rupiah sudah tertekan sebesar 5,69% terhadap dolar AS, padahal masih tetap ada era “super dolar”. Jadi “super dolar” merupakan ancaman, karena artinya akan ada tekanan ke rupiah," tulis Ryan.
Editor : Eben Ezer Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...