Ekstremis ISIS Gandakan Wilayah Kekuasaan Mereka di Mali
PBB, SATUHARAPAN.COM-Para ekstremis ISIS telah menguasai hampir dua kali lipat wilayah yang mereka kuasai di Mali dalam waktu kurang dari setahun, dan saingan mereka yang terkait dengan al Qaeda memanfaatkan kebuntuan dan kelemahan kelompok bersenjata yang menandatangani perjanjian perdamaian tahun 2015. Pakar PBB mengatakan dalam sebuah laporan terbaru.
Terhentinya implementasi perjanjian perdamaian dan serangan berkelanjutan terhadap masyarakat telah menawarkan kesempatan bagi kelompok ISIS dan kelompok yang berafiliasi dengan al Qaeda untuk “mengulang kembali skenario tahun 2012,” kata mereka.
Itu adalah tahun ketika kudeta militer terjadi di negara Afrika Barat dan pemberontak di utara membentuk negara Islam dua bulan kemudian. Pemberontak ekstremis tersebut dipaksa turun dari kekuasaan di wilayah utara dengan bantuan operasi militer pimpinan Prancis, namun mereka berpindah dari wilayah utara yang gersang ke Mali tengah yang lebih padat penduduknya pada tahun 2015 dan tetap aktif.
Pada Agustus 2020, presiden Mali digulingkan dalam kudeta yang melibatkan seorang kolonel angkatan darat yang melakukan kudeta kedua dan dilantik sebagai presiden pada Juni 2021. Ia menjalin hubungan dengan militer Rusia dan kelompok tentara bayaran Wagner Rusia yang dipimpin Yevgeny Prigozhin.
Perjanjian perdamaian tahun 2015 ditandatangani oleh tiga pihak: pemerintah, milisi pro pemerintah dan koalisi kelompok yang menginginkan otonomi di Mali utara.
Panel ahli tersebut mengatakan dalam laporan yang diedarkan pada hari Jumat (25/8) bahwa kebuntuan dalam implementasi perjanjian tersebut, terutama perlucutan senjata, demobilisasi dan reintegrasi kombatan ke dalam masyarakat, memberdayakan Jama'a Nusrat ul-Islam wa al-Muslimin, yang memiliki hubungan dengan alQaeda (JNIM), untuk bersaing memperebutkan kepemimpinan di Mali utara.
Kekerasan dan serangan yang terus berlanjut yang sebagian besar dilakukan oleh anggota ISIS di Sahara Besar juga telah membuat para penandatangan perjanjian perdamaian “tampaknya merupakan penyedia keamanan yang lemah dan tidak dapat diandalkan” bagi komunitas yang menjadi sasaran para ekstremis, kata para ahli.
JNIM mengambil keuntungan dari pelemahan ini “dan kini memposisikan dirinya sebagai satu-satunya aktor yang mampu melindungi masyarakat dari serangan ISIS di Sahara Besar,” kata mereka.
Panel tersebut mengatakan penguasa militer Mali menyaksikan konfrontasi antara kelompok ISIS dan afiliasi al Qaeda dari kejauhan.
Para ahli mengutip beberapa sumber yang mengatakan bahwa pemerintah percaya bahwa konfrontasi di utara akan menguntungkan pihak berwenang Mali, namun sumber lain percaya bahwa waktu akan berpihak pada teroris “yang kapasitas militer dan penetrasi komunitasnya meningkat setiap hari.”
“Dalam waktu kurang dari setahun, ISIS di Sahara Besar telah melipatgandakan wilayah kekuasaannya di Mali,” kata panel tersebut, seraya menunjuk pada penguasaan mereka saat ini di daerah pedesaan di Menaka timur dan sebagian besar wilayah Ansongo di Gao utara.
Pada bulan Juni, junta Mali memerintahkan pasukan penjaga perdamaian PBB dan 15.000 tentara internasionalnya untuk pergi setelah satu dekade berupaya membendung pemberontakan kaum jihadis. Dewan Keamanan mengakhiri mandat misi tersebut pada tanggal 30 Juni.
Panel tersebut mengatakan kelompok-kelompok bersenjata yang menandatangani perjanjian tahun 2015 menyatakan keprihatinan bahwa perjanjian damai tersebut berpotensi gagal, mereka akan berpisah tanpa mediasi PBB, “sehingga wilayah utara akan menghadapi risiko terjadinya pemberontakan lagi.”
Pasukan PBB, yang dikenal sebagai MINUSMA, “memainkan peran penting” dalam memfasilitasi pembicaraan antara para pihak, memantau dan melaporkan pelaksanaan perjanjian, dan menyelidiki dugaan pelanggaran, kata panel tersebut.
Laporan setebal 104 halaman tersebut memberikan gambaran suram mengenai gejolak dan pelanggaran lainnya yang terjadi di negara ini.
Panel tersebut mengatakan kelompok teroris, kelompok bersenjata yang menandatangani perjanjian tahun 2015, dan jaringan kejahatan terorganisir transnasional bersaing untuk mendapatkan kendali atas rute perdagangan dan penyelundupan manusia yang transit melalui wilayah utara Gao dan Kidal.
“Mali tetap menjadi pusat perdagangan narkoba di Afrika Barat dan antara negara-negara pesisir di Teluk Guinea dan Afrika Utara, di kedua arah,” kata para ahli, seraya menambahkan bahwa banyak dari pengedar narkoba utama dilaporkan berbasis di ibu kota Bamako.
Panel tersebut mengatakan bahwa mereka masih sangat prihatin dengan kekerasan seksual terkait konflik yang terus terjadi di wilayah timur Menaka dan wilayah Mopti tengah, “terutama yang melibatkan mitra keamanan asing dari Angkatan Bersenjata Mali”, Grup Wagner.
“Panel percaya bahwa kekerasan terhadap perempuan, dan bentuk-bentuk pelanggaran berat hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional lainnya digunakan, khususnya oleh mitra keamanan asing, untuk menyebarkan teror di kalangan masyarakat,” kata laporan itu. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Presiden Prabowo Gelar Pertemuan Bilateral dengan Presiden M...
RIO DE JANEIRO, SATUHARAPAN.COM-Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mengadakan pertemuan ...