Eman Suparman: Hakim Agung Harus Siap Siaga Menangani Perkara Apa Saja
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Mantan Ketua Komisi Yudisial, Eman Suparman, menasihati Kuat Puji Prayitno agar siap ditempatkan dalam perkara apa saja. Nasihat ini ia sampaikan dalam wawancara terbuka Seleksi Calon Hakim Agung (CHA) Periode I yang berlangsung pada Rabu (24/7) di Gedung Komisi Yudisial (KY), Lantai.4, Jakarta.
Mendapat giliran paling akhir, Eman menasihati peserta terakhir pada Seleksi CHA kamar pidana hari ketiga, Kuat Puji Prayitno sehubungan dengan kesiapan menangani perkara apa saja di Mahkamah Agung (MA).
“Anda jangan terlalu terpaku pada satu kamar (bidang) tertentu, sebagai seorang Hakim Agung. Sebagai contoh di MA dulu, Pak Abas Said pernah mengadili pada perkara militer, nanti siapa tahu di MA anda tidak ditempatkan di kamar pidana tetapi di agama, atau TUN (Tata Usaha Negara),” kata Eman dengan tegas.
Eman menekankan kesiapan itu tidak hanya dalam kesiapan menangani perkara tetapi juga kesiapan diri.
“Karena tidak hanya tuntutan pikiran dan fisik yang ada di MA, tetapi tuntutan integritas bapak terhadap institusi hukum,” tegas Eman kepada Kuat Puji Prayitno yang sehari-hari adalah staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Sama seperti sehari sebelumnya saat mewawancarai hakim non karir yang berasal dari perguruan tinggi, Eman menekankan bahwa Mahkamah Agung bukanlah tempat belajar.
“Kalau anda benar-benar berintegritas hingga di kampus meraih penghargaan sebagai dosen teladan, maka belum tentu di MA,” ujar Eman dengan tegas.
Dalam wawancara terbuka hari ini menghadirkan lima CHA dengan tujuan kamar pidana, yakni mereka yang mengurusi spesialisasi perkara pidana di Mahkamah Agung, selain Eddy Army masih ada Edi Widodo dan Kuat Puji Prayitno, Adam Hidayat Abuatiek, dan Ashnawati.
Kealpaan Hukum Indonesia.
Kuat membandingkan antara maraknya kasus korupsi dan kasus pencurian biji coklat (kakao) oleh nenek Minah di Jawa Tengah. Kuat beranggapan bahwa dalam tataran peradilan dan hukum di Indonesia dalam kondisi alpa, artinya Indonesia belum sampai pada tataran hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat.
“Dalam kasus nenek Minah yang mencuri beberapa biji kakao, dia harus diajukan ke pengadilan, dan dipidana,” kata staf pengajar di Unsoed Purwokerto ini.
“Akan tetapi sebagai hakim kita tidak bisa memproses vonis seseorang dan menjadi amar putusan apabila tidak melihat secara social dan moral justice. Sehingga dalam kasus nenek Minah merupakan contoh nyata ketidakadilan yang dipertontonkan oleh negara”
Apabila Kuat Puji benar-benar menyoroti nenek Minah, maka tindak pidana korupsi yang terus menerus ada dan tidak berhenti merupakan kealpaan kebijakan hukum di Indonesia.
“Tipikor adalah kejahatan luar biasa, tapi pada satu sisi peningkatan jumlah hukuman bagi vonis korupsi masih kurang, maka keadaan politik hukum yang tidak mengubah vonis bagi korupsi, harus dilihat sebagai kealpaan kebijakan hukum di Indonesia,” kata Kuat.
Wawancara terbuka Puji Prayitno merupakan wawancara terakhir pada hari ketiga seleksi CHA. Panelis yang dihadirkan hari ini selain dari ketujuh komisioner KY, dihadirkan juga Prof. Dr. Abdul Muchtie Fajar dan Dr. J. Djohansjah dari Mahkamah Agung.
Editor : Sabar Subekti
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...