Era Presiden Firaun di Mesir Telah Berlalu
KAIRO, SATUHARAPAN.COM - Presiden sementara Mesir, Adly Mansour, mengatakan bahwa hari-hari pemerintahan dengan " presiden firaun" sudah berakhir di Mesir. Dia mengungkapkan hal itu dalam wawancara dengan pemimpin redaksi koran Mesir berbahasa Arab, Al-Ahram, Mohamed Abdel-Hady Allam, hari Senin (3/2) di Kairo.
Mansour mengatakan bahwa konstitusi baru Mesir menetapkan keseimbangan kekuasaan yang ada pada presiden yang bertanggung jawab kepada parlemen, dan memberikan kekuatan pada parlemen untuk menggulingkan eksekutif jika perlu.
Tentang presiden Mesir mendatang, Mansour mengatakan bahwa presiden berikutnya akan mendapat dukungan yang kuat yang memungkinkan dia mengambil keputusan sulit. Namun diperlukan upaya untuk membangun masyarakat dan ekonomi dan memenuhi aspirasi rakyat Mesir.
Mesir berencana segera mengadakan pemilihan presiden sebelum memilih parlemen setelah konstitusi baru disetujui rakyat pada pertengahan Januari lalu. Dia yakin bahwa pemimpin politik Mesir yang akan datang haruslah kuat dan karismatik, namun nasib negara harus diikat dalam aturan kelembagaan dan bukan ditentukan orang tertentu.
Tentang El-Sisi
Tentang panglima militer dan menteri pertahanan, Jenderal Abdel Fattah El-Sisi, yang diperkirakan akan mencalonkan diri sebagai presiden, Mansour mengatakan bahwa El-Sisi mendapat popularitas besar karena perannya dalam transisi 30 Juni. Dia memimpin menggulingkan presiden Mohammed Morsi dan mengoreksi jalannya revolusi 25 Januari 2011.
Mansour tidak mengkonfirmasi atau menyangkal tentang El-Sisi akan menjadi calon presiden. Sebuah pernyataan dari Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) awal bulan ini dinilai banyak pengamat sebagai tanda bahwa pencalonan El-Sisi sudah dekat.
Tentang Ikhwanul Muslimin
Tentang mantan presiden Morsi dan Ikhwanul Muslimin, pemerintahan sementara telah mengambil tindakan keras dengan memenjarakan mereka . Morsi dan anggota Ikhwanul Muslimin dituduh melakukan percobaan pembunuhan dan terorisme. Mansour mengatakan bahwa rekonsiliasi dengan kelompok itu hanya tunduk pada kehendak Mesir, karena "era pengambilan keputusan oleh satu pihak telah berlalu."
Menurut Masour, kesempatan untuk rekonsiliasi telah hancur setelah berbulan-bulan terjadi kekerasan. Ikhwanul Muslimin disebutkan secara konsisten membantah terkait dengan sejumlah serangan baru-baru ini terhadap pasukan keamanan, terutama ledakan bom di gedung polisi di Kairo dan Mansoura.
Politik Luar Negeri
Dunia internasional sempat menuduh bahwa peristiwa 30 Juni 2013 sebagai kudeta terhadap pemerintahan Morsi yang dipilih secara demokratis sebagai presiden. Dan Mansour memuji kementerian luar negeri Mesir yang mampu mengubah perspektif kekuatan internasional tentang masalah tersebut.
Dia menegaskan bahwa keputusan lembaga negara yang dasar adalah untuk kepentingan nasional dan kehendak rakyat Mesir. Tentang hubungan dengan Amerika Serikat yang merupakan mitra Mesir dalam beberapa dekade, dia mengatakan bahwa hubungan yang kuat bergantung sejauh mana kepentingan Mesir dan juga kepentingan AS.
"Saya ingin menegaskan bahwa Mesir setelah 30 Juni independen, dan prioritas presiden dan pemerintah adalah rakyat dan keinginan mereka, dan kami tidak peduli tentang siapa pun jika sikap mereka bertentangan dengan kepentingan Mesir," kata Mansour. Dia menambahkan bahwa AS telah secara bertahap berubah sikap terhadap peristiwa 30 Juni.
AS telah mendapat pesan bahwa Mesir tidak akan menerima campur tangan dalam urusan internal, kata Mansour. Dia mengatakan bahwa AS menyadari "kebenaran" tentang apa yang terjadi pada 30 Juni dan bahwa para pemimpinnya mendukung peta jalan politik saat ini. Mansour juga mengatakan bahwa Mesir memperkuat hubungan dengan Rusia. (ahram.org.eg)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...