Etnis Rohingya Diusir karena Takhayul
SATUHARAPAN.COM – Ratusan ribu kelompok Rohingya hidup dalam kemelaratan di Myanmar negara bagian Rakhine. Akibatnya, ribuan orang melarikan diri melalui daratan dan laut untuk mencari kehidupan yang lebih baik ke seluruh penjuru dunia. Sebagian terdampar di Indonesia. religionnews.com memberi fakta singkat tentang mereka, dalam bentuk tanya jawab.
T: Siapa Rohingya?
Wilayah Rakhine (arsir merah) dihuni mayoritas warga Rohingya. (Screenshot Google Maps) |
J: Orang-orang Rohingya adalah kelompok etnis minoritas yang sebagian besar beragama Islam. Diperkirakan 800.000 orang Rohingya tinggal di Myanmar bagian barat di negara bagian Rakhine. Sekitar 600.000 lainnya tersebar di seluruh Arab Saudi, Bangladesh, Pakistan, Thailand, Malaysia dan di tempat lain. Kebanyakan dari mereka mempraktikkan Islam Sunni yang dipengaruhi Sufisme. Lebih dari 140.000 etnis Rohingya di Myanmar diusir ke kamp-kamp pengungsian pada tahun 2012 di tengah konflik regional. Lebih dari 120.000 orang sejak itu melarikan diri dari perbatasan Myanmar/Bangladesh untuk menghindari kekerasan, penganiayaan, dan kesulitan ekonomi. PBB menyebut Rohingya salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia.
T: Mengapa mereka dianiaya di Myanmar?
J: Ini rumit, tetapi beberapa dari itu bermuara pada takhayul dan politik ketakutan.
Penduduk Myanmar 80 dan 90 persen di antaranya menganut Buddha. Namun, banyak yang percaya dalam nubuatan kitab suci mereka yang mengklaim bahwa iman mereka akan hilang dalam ribuan tahun mendatang. Mereka juga menunjukkan angka 786, singkatan numerologi umum untuk frase bahasa Arab "Bismillah ir-Rahman ir-Rahim" ("Dalam nama Allah, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang"), sebagai bukti dari plot untuk dominasi Muslim pada abad ke-21 (7 + 8 + 6 = 21). Nomor 786 ini sering digunakan untuk menandai bisnis milik umat Muslim di wilayah tersebut.
Nasionalis garis keras seperti biksu Wirathu, memperkuat takhayul "invasi Islam" ini. Ia juga melakukan penghasutan supaya terjadi kekerasan anti-Muslim melalui tulisannya di Facebook. Faktor-faktor politik dan ekonomi lainnya juga berperan, tetapi pemerintah Myanmar membuatnya menjadi makin buruk.
Aung San Suu Kyi menerima Nobel Perdamaian pada 1991. Karena tekanan dari junta militer, ia baru dapat memberikan pidato tentang penerimaan nobelnya 2012 lalu. (Foto: AFP) |
T: Apa yang pemerintah lakukan?
J: The National Museum of Myanmar di Yangon memiliki puluhan maneken berbalut pakaian adat yang mewakili kelompok etnis yang beragam di negara itu. Namun, tidak ada pakaian Rohingya. Jadi, bagi pemerintah, Rohingya, tidak dianggap ada.
Pejabat pemerintah mengategorikan Rohingya sebagai "Bengali", menyiratkan bahwa mereka berada di Myanmar secara ilegal dari negara tetangga Bangladesh. Sebuah undang-undang pada 1982 tidak memasukkan etnis Rohingya dari kewarganegaraan, membuat mereka jadi tidak punya kewarganegaraan. Etnis mereka diabaikan pada sensus tahun lalu.
Pemerintah telah lama menolak Rohingya dari akses ke pelayanan publik dasar, pendidikan, dan kesehatan. Hukum membatasi mereka untuk hak mereka melakukan perjalanan, perkawinan, dan melahirkan. Dan, pemerintah bahkan telah memblokir mereka dari menerima bantuan kemanusiaan.
T: Kedengarannya buruk, tapi bagaimana buruk yang Rohingya benar-benar memilikinya?
J: United States Holocaust Memorial Museum mengeluarkan laporan awal bulan ini berjudul Mereka Ingin Kami Semua Pergi: Tanda Peringatan Dini Genosida di Burma, yang mengatakan itu semua. Dokumen itu melaporkan bagaimana Rohingya menjadi sasaran kebencian, kekerasan fisik, segregasi, kondisi hidup yang mengerikan, pembatasan gerak, perampasan tanah, kekerasan seksual, penahanan sewenang-wenang, pembatasan voting, kehilangan kewarganegaraan, pemerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang tak terhitung jumlahnya. Kelompok minoritas etnis lainnya menghadapi penganiayaan di Myanmar, namun Rohingya yang terburuk.
T: Di mana posisi peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi sekarang? Apa yang dia lakukan untuk membantu?
J: Hampir tidak ada. Aung San Suu Kyi memimpin partai oposisi utama Myanmar, Liga Nasional untuk Demokrasi. Ketika ditekan pada masalah Rohingya, dia sering tergelincir ke dalam deklarasi tentang aturan hukum. Dia bahkan tidak akan mengucapkan kata "Rohingya" pada konferensi pers. Seorang analis politik yang dapat mengontak pemenang Nobel ini mengutip komentarnya tentang krisis ini. Ia mengatakan, "Saya diam bukan karena perhitungan politik. Saya diam karena di mana pun posisi saya berdiri, akan ada lebih banyak darah. Jika saya berbicara untuk hak asasi manusia, mereka (Rohingya) hanya akan lebih menderita. Akan ada lebih banyak darah."
Pemilihan nasional dijadwalkan untuk akhir tahun ini, dan Aung San Suu Kyi dalam sangat banyak kesempatan sebagai seorang politikus, tetap diam pada situasi Rohingya meskipun ada lonjakan berita baru-baru ini di media internasional.
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...