Evi Minta Pindah Tahanan, Karena Usai Operasi Rahim
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Tersangka Evi Susanti, Istri Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho minta pindah tempat penahanan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan alasan usai menjalani operasi rahim.
"Ada operasi di bagian rahim, beliau itu juga punya penyakit asma yang cukup serius," kata Razman Arief Nasution selaku kuasa hukum Evi, di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hari Jumat (7/8).
KPK menahan Gatot dan Evi setelah keduanya diperiksa, pekan lalu. Gatot ditahan di rumah tahanan kelas I Cipinang sedangkan Evi di rutan kelas I Jakarta Timur di gedung KPK Jakarta.
"Saya datang ke sini dalam rangka menyampaikan surat kepada pimpinan KPK, kiranya dalam hal ini Ibu Evi bisa dipindahkan," kata Razman.
Razman mengatakan juga ada sejumlah kendala soal fasilitas yang dikeluhkan Evi.
"Kemudian di situ gak ada ventilasi udara, pengap, jadi kalau pun di situ ada AC, lumayan, tapi beliau karena secara psikologi mungkin berharap maka saya datang menyampaikan surat. Surat itu pun dibuat langsung oleh Evi," kata dia.
Gatot dan Evi disangkakan pasal 6 ayat 1 huruf a dan pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b dan atau pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 jo pasal 64 ayat 1 KUHPidana.
Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp 750 juta.
Selain Gatot dan Evi, KPK juga sudah menetapkan enam orang tersangka lain yaitu penerima suap terdiri atas Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro (TIP), anggota majelis hakim Amir Fauzi (AF) dan Dermawan Ginting (DG) serta panitera/Sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan (SY), sedangkan tersangka pemberi suap adalah pengacara senior OC Kaligis dan anak buahnya bernama M Yagari Bhastara Guntur (MYB) alias Gerry.
Perkara ini dimulai ketika Kepala Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sumut Ahmad Fuad Lubis dipanggil oleh Kejaksaan Tinggi dan juga Kejaksaan Agung terkait perkara korupsi dana bantuan sosial provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014.
Atas pemanggilan berdasarkan surat perintah penyelidikan (sprinlidik) yang dikeluarkan oleh Kejati Sumut, Fuad pun menyewa jasa kantor pengacara OC Kaligis untuk mengajukan gugatan ke PTUN Medan.
Dalam putusannya pada 7 Juli 2015, majelis hakim yang terdiri dari ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro dan anggota Amir Fauzi serta Dermawan Ginting memutuskan untuk mengabulkan gugatan Fuad.
Namun pada 9 Juli 2015, KPK melakukan OTT di PTUN Medan terhadap Tripeni dan Gerry sehingga didapatkan uang 5 ribu dolar AS di kantor Tripeni. Belakangan KPK juga menangkap dua hakim anggota bersama panitera/sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan.
Selanjutnya diketahui juga bahwa uang tersebut bukan pemberian pertama, karena Gerry sudah memberikan uang 10 ribu dolar AS dan 5 ribu dolar Singapura.
Uang tersebut menurut pernyataan pengacara yang juga paman Gerry, Haeruddin Massaro berasal dari Kaligis yang diberikan ke Dermawan Ginting pada 5 Juli 2015. (Ant)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...