Fajar Riza Ul Haq: Indonesia Perlu Pemimpin Bertipe Petarung
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Gerakan revolusi mental sempat dikumandangkan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat berkampanye pada pemilihan presiden dua tahun yang lalu, namun kini konsep tersebut harus tetap dikembangkan, karena Indonesia membutuhkan manusia dengan kualitas baik dan memperhatikan situasi kerja yang konkret seperti di birokrasi. Untuk mendapat individu yang baik di birokrasi, tidak hanya membutuhkan kecerdasan namun dewasa ini membutuhkan jiwa petarung.
“Jadi kalau meminjam istilah Buya (Pendiri Maarif Institute, Ahmad Syafii Maarif, red) kita membutuhkan pemimpin dengan mental petarung,” kata Direktur Eksekutif Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq dalam diskusisatuharapan.com,di Gedung PT. Sinar Kasih, Jl. Dewi Sartika 136 D, Jakarta 13630, hari Rabu (13/1).
“Kita bisa belajar dari Ahok. Dia seorang yang bermental petarung. Walupun, dia tiap saat memecat kepala dinas itu dan sampai sekarang masih banyak yang bebal juga, dan banyak yang tidak jera dan kapok, ini memang bangunan sistem kultur dan birokrasi telanjur karatan. Kita harus potong satu generasi,” kata anggota Kelompok Kerja Gerakan Revolusi Mental ini. ”Namun, Ahok pantang menyerah.”
Riza mengatakan demikian karena beberapa waktu lalu dia menemani Ahmad Syafii Maarif dalam perbincangan dengan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Riza memberi contoh ada beberapa kepala daerah lain yang memiliki kapasitas dan integritas yang baik seperti Tri Risma Harini (mantan Wali Kota Surabaya), Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
“Mereka itu kan local champion. Namun, saya kira mereka pun harus bekerja keras untuk bisa menggerakkan birokrasi,” kata dia.
“Nah untuk menjadi pemimpin itu membutuhkan mental petarung. Karena kalau kita punya pemimpin yang istilahnya menjalankan pemerintahannya business as usual, ia akan ditelan oleh birokrasi,” kata dia.
Riza menyebut ada dua hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan revolusi mental. Satu, reformasi birokrasi adalah hal yang sangat fundamental dalam pemerintahan di Indonesia.
Kedua, adalah pendidikan. Pendidikan sebagai strategi revolusi kebudayaan. Karena satu-satunya hal yang dapat mengubah yakni pendidikan, atau lebih spesifik adalah pendidikan karakter. Itu harus dimulai sejak dini. Sejak masih kanak-kanak.
“Karena mengubah satu pola pikir itu sulit, ibaratnya bambu kalau sudah tua itu sulit untuk dibengkokkan. Jika bisa pun akan patah. Namun, kalau yang masih muda bisa dibentuk,” kata dia.
Contoh Konkret Perubahan di PT KAI
Salah satu contoh lembaga yang secara konkret melakukan reformasi birokrasi, menurut Riza adalah PT Kereta Api Indonesia (KAI), dia menilai institusi tersebut konsisten melakukan reformasi khususnya pelayanan masyarakat.
“Sekarang kita bisa melihat bahwa tiga tahun terakhir kita bisa mencermati perubahan relatif makin baik, karena itu bukan faktor Pak Jonan saja (Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, red), karena kalau faktor Pak Jonan saja beberapa bulan setelah ia keluar pasti pelayanan akan mundur lagi,” kata dia.
“Masyarakat kita bisa berubah kalau mencontoh PT KAI. Masyarakat dipaksa mengadopsi budaya antre, harus pake kartu sekarang, tidak duduk di lantai, dan sekarang orang udah malu kalau duduk di lantai,” kata dia.
Editor: Bayu Probo
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...