Fenomen Waktu
Hidup dan waktu memiliki makna intrinsik. Hidup yang tulen dan benar hanya dialami jika kita sanggup melihat, memanfaatkan, dan menikmati setiap momentum secara tepat.
SATUHARAPAN.COM – ”Saya tidak punya waktu,” keluh manusia modern berimplisitkan pesan kesibukan, biarpun selalu tersaji 24 jam sehari baginya.
Kesibukan dipatok sebagai kunci sukses. Meskipun kita tahu, ada yang supersibuk dan tidak efektif; ada yang sangat berhasil dengan investasi waktu sedikit. ”Bukannya sangat sedikit waktu yang kita punyai, melainkan ada banyak waktu yang tidak kita gunakan,” kata Seneca.
Fenomen waktu tak tuntas dibahas. Agustinus menggarisbawahi: ”Jika tak ditanyakan, saya tahu apa itu waktu. Jika ditanyakan apa itu waktu, saya tak bisa menjelaskannya.” Kategorisasi waktu—lalu, kini, jelang—hanya eksis dalam pemikiran.
Manusia sanggup meraba, melihat, dan mendengar. Namun, kapasitas itu tidak bisa diaplikasikan dengan waktu. Waktu tak bisa dilihat dan dicernakan. Ia sebenarnya tidak ada, tipuan, dan konstruksi fungsional demi menakar masa dan membandingkannya.
Anggapan ”waktu adalah uang” demi menghadang pemborosan hanyalah sugesti. Waktu tak bisa dihemat. Kebajikan tertib waktu hanya berujungkan stres dan ketergesaan. Padahal, mengutip pepatah Afrika, ”Ketika Tuhan menciptakan waktu, Ia tidak pernah berbicara tentang ketergesaan.”
Manusia terinfeksi hiperaktif dan defisit waktu, disandera waktu dan terdegradasi sebagai ”insan arloji“. Hidupnya dibingkai kecemasan oleh singkatnya usia dan momok kematian.
Kultur global akselerasi-velositas (kecepatan-percepatan) menirani manusia: pasangan hidup dicari secara kilat (speed-dating); kopi dikonsumsi sambil berjalan (coffee-to-go); istirahat siang dilarang hingga pulas (power-napping); hubungan intim dilakukan secara ekspres; kebijakan politik diambil tergesa-gesa, padahal demokrasi membutuhkan waktu untuk mempertimbangkan perbedaan kepentingan dan argumen.
Akselerasi-velositas ditentang Odo Marquard. Ia menagih ”kelambatan” sebagai egalisasi percepatan. Diogenes mengultuskan kemalasan; yang bagi Sokrates merupakan kembaran kebebasan. Ungkapan ”kemalasan adalah awal segala beban” diusik slogan ”kemalasan adalah awal segala cinta”.
Khazanah bahasa Yunani kuno mengenal tiga kosa kata untuk ”waktu”: kronos, kairos, dan aion. Ketiga istilah ini mendeskripsikan dimensi, strukturisasi dan koordinasi serta pergaulan dengan waktu.
Kronos memaksudkan siklus-periodis waktu yang lazim dalam takaran tahun, hari, jam, dan seterusnya. Waktu kuantitatif ini berjalan tanpa henti dan tak bisa dibendung. Kata Heraklitus: panta rhei kai uden menei (semuanya mengalir dan tak ada sesuatupun yang tinggal tetap). Kepercayaan akan siklus itu ilusi. ”Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama,” lanjut Heraklitus. Fenomen ini membiakkan penyakit kronis kekurangan waktu, stres, dan kegopoh-gopohan.
Kairos berkutat dengan prinsip kesempatan dan momentum, saat yang tepat atau kepenuhan waktu. Pada zaman antik, kairos diartikan sebagai peluang yang dianugerahkan Yang Ilahi. Kini kairos menunjukkan kemampuan untuk memanfaatkan peluang secara benar pada saat yang tepat (timing). Kairos berkaitan dengan kualitas.
Aion mengacu pada rentang waktu yang panjang dan tanpa batas. Dunia biblis mengartikan aion sebagai interval masa antara penciptaan (genesis) dan kedatangan kembali Kristus (parusia). Bagi Plato, kronos dan aion bercorak antonim (waktu dan keabadian). Kairos dan aion bisa bertaut erat, karena ada saat kekal.
Hidup dan waktu memiliki makna intrinsik. Hidup yang tulen dan benar hanya dialami jika kita sanggup melihat, memanfaatkan, dan menikmati setiap momentum secara tepat. Itu berarti hidup yang berkualitas dan monumental tidak selamanya diukur dari akumulasi usia, pengalaman, ilmu pengetahuan, dan kekayaan.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...