Fenomena Nono dan Kesetaraan Akses Pengembangan Diri
SATUHARAPAN.COM – Dia dikenal dengan panggilan Nono. Nama aslinya Caesar Archangels Hendrik Meo Tnunay. Dia dari keluarga sederhana: ayahnya, Raflim Meo Tnunai, bekerja serabutan, dulunya kuli atau tukang bangunan, Nuryati Seran, sang ibu merupakan guru dengan status kontrak.
Dia anak berusia tujuh tahun dan masih duduk di kelas dua di Sekolah Dasar Inpres (SDI) Buraen 2, di Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), wilayah yang termasuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Namun dari sana, anak ini menyabet juara pertama kompetisi matematika tingkat internasional, tepatnya International Abacus World Competition 2022. Kompetisi itu diadakan oleh International Abacus Brain Gym.
Dia memiliki kecepatan dalam berhitung, dan itu telah di tunjukkan juga di depan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Riset Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim.
Nono menyingkirkan 7.000 peserta lainnya dalam kompetisi matematika dan sempoa tingkat dunia itu. Di kompetisi yang berlangsung online tersebut Nono berhasil menyelesaikan 15.201 file. Satu file terdapat 10 soal, sehingga total soal yang dikerjakan Nono dalam jangka waktu satu tahun sebanyak 152.010 soal. Soal-soal tersebut diujikan secara virtual dan listening dalam bahasa Inggris.
Akses pada Kompetisi
Nono adalah siswa binaan Astra yang memberikan pelatihan Cerdas Matematika (Cermat) dengan tujuan para guru langsung mempraktekkan kemampuan numerasi kepada anak didik yang pada akhirnya siswa dapat menguasai pelajaran dengan mudah.
Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan Astra, Michael D. Ruslim Herawati Prasetyo, dikutip Antara mengatakan, prestasi yang diraih Nono merupakan hal yang membanggakan.
Nono sudah dua kali juara di ajang kompetisi yang sama yaitu International Abacus World Competition. Tahun 2021 itu dia juara tiga, yang dikerjakan hanya dalam tiga bulan. Sedangkan tahun 2022 dia juara pertama.
Kedua orangtuanya dan Nono sendiri tidak mengetahui saat Nono didaftarkan dalam kompetisi perlombaan pertama pada Oktober 2021. Selang sepekan, mereka baru tahu ketika Nono sedang sibuk mengerjakan soal, dan masuk tiga besar dunia.
Awalnya pelatihan matematika dan sempoa itu bukan untuk anak, tetapi kemudian diketahui Nono suka matematika, dan pelatihnya, Angie Michaela Marella, mengajari Nono. Nono masuk tiga besar melawa peserta lain yang mengerjakan selama setahun, sedangkan Nono hanya dalam tiga bulan.
Menemukan Talenta dan Kesetaraan Akses
Akses pelatihan matematika dan sempoa dan kemudian masuk ke kompetisi internasional inilah yang membuat Nono bagaikan mutiara yang diasah dan mengeluarkan sinar kualitasnya. Proses itu yang menemukan talenta Nono dan kemudian memberi akses untuk tampil dan meraih prestasi.
Fenomena Nono dari daerah 3T adalah masalah menemukan talenta, dan membuka kesetaraan akses untuk berprestasi. Nono talenta besar yang mungkin tidak akan jadi apa-apa ketika tidak ada pelatihan matematika dan sempoa, dan tidak ada akses untuk kompetisi yang luas. Di sekolah di kampungnya, dia dikenal jago matematika, tetapi itu akan mandeg di situ ketika tidak ada akses untuk mengembangan dan menunjukkan prestasi keluar.
Indonesia yang luas dengan 260 juta penduduknya, memiliki talenta dan potensi yang sangat banyak. Di negeri ini sangat mungkin terdapat Nono yang lain, bukan hanya dalam bidang matematika, tetapi juga dalam bidang musik, seni lukis dan seni yang lain, arsitektur, fisika, budaya, bisnis, robotik, dan bidang lain. Masalahnya apakah komunitas di sekitarnya, keluarga hingga tingkat bangsa dan negara (mau) menemukan mereka, kemudian (mau) membuka peluang dan akses bagi mereka untuk berkembang?
Pendidikan dan pengembangan manusia di Indonesia memang hanya memberi celah kecil bagi mereka yang miskin dan dari daerah yang terpencil, seperti kampungnya Nono. Akses pada banyak bidang sering terhambat oleh berlakunya “sikap dan aturan diskriminasi” atas dasar hal-hal yang tidak rasional, yang membuat talenta bangsa ini gagal ditemukan, gagal ditumbuhkan, gagal menjadi kekuatan pendorong kemajuan, gagal member kontribusi pada kemakmuran dan gagal meberi kejayaan bangsa.
Fenomena Nono mestinya menjadi kritik kita semua, bahwa kesetaraan akses untuk pengembangan diri setiap warga akan membuat talenta anak bangsa bisa muncul, diasah, berkontribusi bagi kemajuan, dan menjadi kebanggaan bangsa. Tidak peduli itu dari golongan mana dan dari wilayah terpencil sekalipun.
Editor : Sabar Subekti
Parlemen Swiss Memilih untuk Melarang Hizbullah Lebanon
BERN, SATUHARAPAN.COM-Parlemen Swiss pada hari Selasa (17/12) memilih untuk melarang Hizbullah, dala...