Situasinya Darurat, Permen PPKS untuk lindungi Korban Kekerasan Seks
SATUHARAPAN.COM-Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Andy Yentriyani, menyebutkan dalam satu acara bahwa pada tahun 2020, angka kasus kekerasan seksual khususnya terhadap perempuan terus meningkat.
Tahun 2020 terdapat 2.389 kasus kekerasan. Sebanyak 53% dari jumlah tersebut adalah kasus kekerasan seksual, termasuk terjadi di lembaga pendidikan. Ini adalah kasus yang berhasil dilaporkan ke Komnas Perempuan. Dan banyak kasus yang tidak terlaporkan sama sekali.
Sementara itu, Mendikbudristek menilai, seperti disebutkan dalam siaran persnya pada 12 November, saat ini Indonesia berada pada situasi darurat kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Kekerasan seksual paling sulit dibuktikan, tetapi efeknya sangat besar dan berjangka panjang. Oleh karena itu, jika ada laporan kekerasan seksual, perguruan tinggi wajib melakukan penanganan yang meliputi pendampingan, pelindungan, pemulihan korban, dan pengenaan sanksi administratif.
Masalahnya lagi, selama ini, dalam proses penanganan kekerasan seksual, sering menghadapi kebingungan terkait hal-hal apa yang dapat dipahami sebagai kekerasan seksual. Rendahnya pemahaman terkait hal ini sering menyulitkan proses penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Itulah sebabnya keluar Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS). Ini merupakan terobosan yang melindungi korban kekerasan seksual di kampus.
Perlindungan Korban Bukan Mengizinkan Perzinahan
Agak disayangkan bahwa ada pihak-pihak di kalangan politisi tertentu yang membelokkan terobosan yang baik ini, sebagai masalah melegalkan perzinahan. Pandangan dan penolakan mereka yang sangat naïf dalam melihat masalah kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Sasaran Permendikdubristek PPKS adalah mencegah dan menangani setidaknya sebelas kemungkinan kejadian kekerasan seksual yang menimpa hubungan antar mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Permen PPKS memperinci bentuk tindakan dengan konsekuensi sanksi administratif. Pasal 5 menyebut yang termasuk tindak kekerasan seksual adalah verbal, nonfisik, fisik, dan melalui teknologi informasi dan komunikasi. Aturan ini juga menghilangkan area “abu-abu” yang ada selama ini.
Pasal 10 hingga pasal 19, mengajak sivitas akademika agar berperan aktif melindungi korban. Pendampingan yang dimaksud mencakup konseling, advokasi, layanan kesehatan, bantuan hukum, bimbingan sosial dan rohani, serta pendamping bagi penyandang disabilita. Dan pelindungan juga meliputi jaminan keberlanjutan pendidikan atau pekerjaan, penyediaan rumah aman, serta korban atau saksi bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang diberikan.
Tanggung Jawab Rektor
Rektor dan Direktur Perguruan Tinggi bertanggung jawab penuh untuk melaksanakan Permen PPKS ini dan dapat menjatuhkan sanksi yang lebih berat dari rekomendasi Satgas (satuan tugas).
Apabila keputusan pemimpin perguruan tinggi dirasa tidak adil, korban dan/atau terlapor dapat meminta Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek) dan/atau Dirjen Pendidikan Vokasi (Dirjen Diksi) untuk melakukan pemeriksaan ulang.
Rektor dan direktur harus memantau dan mengevaluasi rutin seluruh kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, serta kinerja satgas di kampusnya.
Editor : Sabar Subekti
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...