Fenomena Pemaksaan Seragam Islami di Sekolah Negeri
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemaksaan model seragam Islami di sekolah negeri Indonesia dikeluhkan masyarakat. Media yang berpusat di Amerika Serikat, New York Times, pada Senin (16/6) menyoroti fenomena ini.
Ketika Lies Marcoes mendengar bahwa SMA putrinya, di Bogor, Indonesia, meminta semua murid muslim perempuan mengenakan jilbab seminggu sekali, ia sangat marah. Meskipun ia sendiri seorang muslim dan lulusan dari sebuah universitas Islam di Jakarta, ia pergi ke sekolah untuk menolak pengenaan seragam benapas agama di sekolah negeri.
Sebagai hasil dari protes, ia berkata, perintah itu dibatalkan—meskipun putrinya yang menginjak remaja memutuskan untuk memakai jilbab demi sama dengan teman-temannya.
Sekitar 400 km dari Bogor, di Yogyakarta, orang tua lain, Tri Agus Susanto Siswowiharjo, mengatakan ingin mengirim anak-anaknya ke sekolah menengah negeri, tetapi ia juga khawatir mereka harus mengenakan busana Islami.
Tri Agus, dosen komunikasi politik di sebuah perguruan tinggi yang istrinya Katolik, sekarang mengirim putrinya ke sebuah sekolah dasar swasta Katolik. Meskipun ia adalah seorang muslim, ia mengatakan percaya bahwa agama ada di ranah privat dan tidak boleh dipaksakan.
“Jika mereka ingin belajar tentang agama, mereka dapat belajar tentang hal itu di rumah,” katanya dalam wawancara.
Banyak orang tua seperti Lies Marcoes dan Tri Agus mengatakan mereka mengharapkan sekolah-sekolah negeri untuk bersikap netral dan untuk mencerminkan warisan multikultural negara yang mengakui enam agama.
Dimulai 10-15 Tahun Lalu
Namun, dalam 10 sampai 15 tahun terakhir, sekolah makin mengadopsi kebijakan yang mendukung Islam, agama mayoritas. Sekolah memerintahkan siswa muslim untuk mengenakan seragam muslim bergaya—setiap hari atau setidaknya pada hari Jumat, ketika umat Islam pergi ke masjid. Beberapa sekolah juga mewajibkan siswa muslim membacakan ayat-ayat dari Alquran setiap pagi sebelum pelajaran dimulai.
Maraknya praktik Islam di sekolah negeri, mencerminkan peningkatan fundamentalisme di seluruh negeri, membuat orang tua seperti Lies dan Tri Agus gelisah.
“Saya mengirim anak saya ke sekolah negeri, sehingga mereka bisa belajar nilai-nilai universal, memiliki berbagai jenis teman dan belajar ide-ide pluralis,” kata Lies.
Makin intensifnya praktik tersebut juga telah memengaruhi guru. Henny Supolo, Ketua Yayasan Cahaya Guru, sebuah yayasan nirlaba guru, mengatakan dari 2007 sampai 2010, organisasi memberikan pelatihan kepada 4.500 guru dari 2.000 sekolah, mayoritas dari mereka adalah guru perempuan dari sekolah negeri. “Kami melihat hampir semua dari mereka mengenakan jilbab sebagai seragam,” kata Henny Supolo. “Jilbab telah menjadi bagian dari seragam untuk guru sekolah negeri perempuan yang kita temui.”
Ini mengkhawatirkan, katanya: “Jika jilbab telah menjadi bagian dari seragam di sekolah negeri, maka fungsi sekolah negeri sebagai tempat untuk menabur pluralitas untuk anak-anak kita akan hilang.”
Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, menempatkan masalah itu terus terang: “Sekolah negeri telah menjadi sekolah-sekolah agama,” katanya.
Beberapa sekolah sekarang membacakan doa harian dari Alquran sebelum kelas formal dimulai. Dalam satu sekolah di Jakarta Timur, siswa muslim menghabiskan 15 sampai 20 menit membaca Alquran setiap pagi, kata seorang guru di sekolah, yang meminta nama dan sekolahnya tidak disebut, karena takut dampak profesional kepadanya.
Siswa Kristen yang duduk bersama dalam satu ruangan, dalam pembacaan Alquran, membaca Alkitab, kata guru itu. Siswa Hindu dan Buddha, yang tidak memiliki guru agama mereka sendiri di sekolah, membaca teks-teks agama mereka sambil duduk di ruang yang sama dengan teman sekelas muslim mereka membaca Alquran.
“Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas selalu benar, sementara minoritas harus beradaptasi,” kata guru itu.
Radikalisasi Meningkat
Indonesia, yang memiliki penduduk muslim terbesar di dunia—lebih dari 200 juta, atau hampir 90 persen warganya memeluk iman Islam—sering dipuji sebagai model Islam moderat.
Tapi dalam beberapa tahun terakhir, negara ini telah menghadapi peningkatan radikalisme Sunni dan intoleransi agama. Komisi Perlindungan Anak Indonesia telah memperingatkan ajaran radikal makin sering diajarkan pada setiap tingkat usia, dari TK sampai universitas.
Sementara itu, Indonesia secara konsisten adalah salah satu peserta terburuk dalam Program for International Student Assessment—tes tiga tahunan yang diberikan kepada siswa berumur 15-16 tahun dari 65 negara oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi Pembangunan. Dalam peringkat PISA, skor mahasiswa Indonesia dalam matematika, membaca, dan ilmu tertinggal rata-rata rekan-rekan mereka.
Namun, perbaikan kurikulum terbaru di Indonesia, diluncurkan tahun lalu, memberi penekanan waktu lebih untuk pendidikan agama, sedangkan IPA dan IPS digabungkan dengan mata pelajaran lain.
Pendidik seperti Henny Supolo telah mendesak Kementerian Pendidikan untuk mengambil tindakan terhadap penyebaran seragam Islam dan perbedaan agama lainnya. Namun juru bicara kementerian, Ibnu Hamad, mengatakan pemerintah pusat tidak memiliki kekuasaan untuk campur tangan. Isu tersebut “sebagian besar di bawah yurisdiksi pemerintah daerah, dalam rangka otonomi daerah,” katanya.
Desentralisasi
Diperkuat oleh desentralisasi, yang dimulai setelah jatuhnya rezim otoriter Presiden Soeharto pada 1998, politisi lokal sering mendorong agenda populis yang terinspirasi agama, mengatakan bahwa hal itu bisa mengatasi masalah sosial termasuk kehamilan remaja dan penyalahgunaan narkoba.
“Kami sangat gugup dalam menghadapi masalah sosial dan moral seperti kenakalan remaja bahwa kita akan kembali ke ajaran agama yang irasional,” kata Lies Marcoes.
Andreas Harsono, peneliti Indonesia untuk Human Rights Watch, yang melakukan studi lapangan tentang hak-hak perempuan di beberapa provinsi, mengatakan pengenaan pakaian muslim pada pelajar di sekolah negeri dan guru kini tersebar luas, “dari TK sampai SMA.”
Implementasi dapat bervariasi: “Kadang-kadang hal ini didasarkan pada keputusan sekolah sendiri, kadang-kadang keputusan bupati, wali kota atau gubernur,” kata Harsono. Tapi, dalam setiap kasus, “pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, melakukan pembiaran.”
Jilbab lalu muncul di mana-mana di Indonesia, menjadi populer dalam tahun-tahun pasca-Suharto. Sebelum itu, siswa sekolah negeri dan guru dilarang memakai jilbab di halaman sekolah dan mereka yang melakukannya bisa diusir. Untuk beberapa aktivis perempuan seperti Lies Marcoes, mengenakan jilbab adalah simbol perlawanan terhadap pemerintahan tangan besi Soeharto.
Pada tahun-tahun itu, jilbab “adalah kasus sekolah-sekolah Islam vs sekolah milik negara,” kata Dewi Candraningrum, editor feminis Jurnal Perempuan dan penulis buku Negosiasi Jilbab Wanita. Seragam Islam—rok panjang, kemeja lengan panjang dan jilbab untuk anak perempuan—hanya dipakai oleh siswa sekolah yang dijalankan oleh organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah setiap hari Jumat.
Tapi karena pemerintah mengendur, memungkinkan siswa dan guru untuk memakai jilbab—yang seharusnya atas pilihan sendiri, bukan paksaan—menjadi tanda perbedaan agama bahkan di sekolah-sekolah. “Siswi muslim sekarang harus mengenakan jilbab,” kata Dewi. “Jilbab telah menjadi simbol dari gadis-gadis muslim, yang seharusnya terlihat berbeda dari gadis-gadis non-muslim.”
Retno Listyarti mengatakan mereka yang mengenakan jilbab tidak boleh dilarang, tetapi juga tidak boleh memaksa untuk memakainya. “Memakai jilbab harus bersifat sukarela,” kata Retno, yang berjilbab juga.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...