FGD PISK: Identitas Keindonesiaan di Tengah Globalisasi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Focus Group Discussion (FGD) Kebudayaan dan Ideologi yang diselenggarakan oleh Persekutuan Inteligensia Sinar Kasih (PISK) adalah rangkaian kegiatan FGD dan Seminar yang bertemakan “Kedaulatan Rakyat Untuk Kemandirian Indonesia”. FGD yang dihadiri oleh puluhan penggiat inteligensia Kristen dan pemerhati budaya dan Ideologi berlangsung di Gedung Sinar Kasih, Rabu (10/9).
FGD bertemakan “Kepemimpinan Kebudayaan Pasca Pemilu Presiden” berangkat dari hipotesis yang berupaya menjawab benarkah kedaulatan rakyat telah tercerabut dan kemandirian bangsa Indonesia kini kita tidak ada lagi? Masyarakat bertanya proses berikutnya setelah selesainya pemilihan presiden dan rakyat memberikan harapan pada pundak presiden yang baru.
Memandu diskusi, Marim Purba memulai dengan sebuah refleksi, “Apa yang terjadi saat ini, kita tidak sedang berada di Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya.” Marim Purba mengatakan ada fenomena dimana didapati kenyataan lemahnya kontrol regulasi oleh publik, adanya penetrasi korporasi Internasional, liberalisasi perdagangan, pasar bebas dan investasi skala mondial dan neoliberalisme. Fenomena ini sedikit banyak menampakkan adanya dekulturalisasi yang menggoyahkan hak-hak Sipil, Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Selanjutnya FGD dihantarkan oleh sebuah pertanyaan, adakah fundamen sumbangan kebudayaan Indonesia bagi tamansari kebudayaan dunia, atau malah terjadi fenomena sebaliknya dimana Indonesia telah tercerabut dari budayanya sendiri?
Otentisitas Keindonesiaan
Martin Sinaga membuka percakapan tentang kebudayaan sebagai sebuah kerja, yang berarti kebudayaan adalah sesuatu yang menjadi. Alih-alih mencari original dari kebudayaan Indonesia, lebih baik mencari otentitas kebudayaan yang mewakili apa yang benar dan yang dipercayai dan otentitas kebudayaan jauh lebih penting daripada originalitasnya, demikian kata Martin Sinaga.
Budayawan Taufik Abdullah mengungkapkan percakapan tentang kebudayan Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah, namun tentang hal ini tidak ada penjelasan yang tuntas. Penjelasan yang paling mudah, menurut Martin Sinaga adalah budaya “batik” sebagai simbol budaya Indonesia.
Audy Wuisang menjelaskan mencari orisinalitas kebudayaan bisa menghentikan sejarah, karena kebudayaan bukan barang statis. Namun belajar dari pengalaman dalam masa orde baru yang kental dengan prinsip fasisme, puncak-puncak kebudayaan Indonesia dan model budaya “batik” seharusnya dibangun di atas semangat desentralisasi dan pembangungan dari kebudayaan-kebudayaan daerah yang sebenarnya kaya. Karenanya menurut Audy Wuisang, kebudayaan lebih tepat bila ditempatkan dalam pemahaman sebuah taman sari kebudayaan dan tidak perlu klaim bahwa ada kebudayaan nasional.
Yoel Indrasmoro menjelaskan dalam diskusi, kebudayaan adalah soal “menjadi” yang tidak pernah berhenti hingga mendapatkan yang terbaik. Dalam perubahan tersebut, puncak-puncak kebudayaan mungkin saja berganti menjadi lembah, dan karenanya perlu selalu untuk memelihara dan memikir ulang kebudayaan. Mengkritisi budaya jawa, Yoel Indrasmoro berpendapat bahwa seringkali komunitas “capek” melestarikan ketimbang mengembangkan, padahal budaya adalah sesuatu yang berkembang dan tak pernah mati.
Audy menegaskan sebuah pendapat bahwa apa yang menjadi kontribusi dalam tamansari kebudayaan dunia sekarang ini adalah saat ini Indonesia dipandang dan menjadi centrum para sarjana politik dunia, yakni Indonesia sebagai negara yang mengkontribusikan bagaimana demokrasi bisa berjalan dalam konteks negara yang berpenduduk mayoritas muslim, selain Indonesia negara lain adalan Turki.
Ketua Umum Persekutan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Dr. Andreas Yewangoe mengatakan kebudayaan tak mudah didefinisikan karena kebudayaan adalah kehidupan itu sendiri.
“Bahaya bila kita bicara kebudayaan dan menyempitkan hanya dalam definisi. Definisi kebudayaan ada ribuan yang menandakan luar biasa kompleksitas dinamika kehidupan,” kata Yewangoe.
“Berbicara perubahan kebudayaan ini adalah suatu keniscayaan, karena kebudayaan tidak bisa statis. Bila statis, maka kebudayaan jadi tidak berguna, seperti garam yang tawar dan diinjak-injak orang,” tutur Yewangoe.
Inti Kebudayaan Indonesia
Perihal konsep Revolusi Mental yang menjadi ide yang diusung Jokowi dengan konsep Trisakti, dimana di dalamnya terkandung kepribadian dalam kebudayaan, Yewangoe pernah menyampaikan bahwa hal itu tidak mudah.
“Waktu Jokowi datang ke kantor PGI beberapa waktu lalu, saya bilang, Pak Jokowi bicara revolusi mental itu tidak mudah, kami di PGI sudah pada 2004 berbicara tentang itu, waktu itu tema kami adalah Berubahlah oleh Pembaruan Budimu,” kata Yewangoe.
Menurut Yewangoe, budi dalam Bahasa Yunani adalah nus, yang artinya inti kemanusiaan dan menandakan bahwa dia adalah manusia. Jadi, ke-Indonesia-an harus ada yang menandakan bahwa dia adalah orang indonesia.
“Apa yang Jokowi maksud tentang kepribadian dalam kebudayaan, mengartikan harus ada satu inti yang menandakan inilah orang Indonesia,” ucap dia.
UU Kebudayaan, Masih diperlukankah?
Antie Sulaiman dari Pusat Studi Papua – Universitas Kristen Indonesia (UKI), mengemukakan bahwa Kebudayaan Indonesia belum selesai, yang ada adalah budaya Indonesia yang menjadi. Namun demikian Antie mengingatkan saat ini di Indonesia tidak lagi ada strategi kebudayaan, selain tidak adanya lagi intelektual yang mumpuni di bidang kebudayaan.
Ada paradoksal budaya di Indonesia, yakni ada budaya kebersamaan dan budaya bersendiri. Di Indonesia timur banyak contoh kegiatan yang dilakukan dalam kebersamaan dan komunal, sedangkan di Jawa dan di Sunda dengan pola semedi, seseorang mencari dan mendapatkan sesuatu atas usaha sendiri. Paradoksal ini menurut Antie Sulaiman, hal ini menyulitkan orang misalnya sistem pemerintahan dan perwakilan di DPR, dan mendorong perilaku korupsi yang marak saat ini.
Di Indonesia juga dipertentangkan antara Islam dan non Islam, mayoritas dan minoritas. Atas dan morat-maritnya bahasan kebudayaan, Antie mengusulkan perlu kongres kebudayaan seperti kongres kebudayaan sebelumnya yang didominasi oleh tokoh-tokoh intelektual yang mumpuni dibidang kebudayaan.
Menyikapi UU Kebudayaan yang sedang berporses di badan legislasi DPR RI. Menurut Antie, undang-undang yang didorong oleh pemerintahan tidak ada landasan filsafat dan strategi kebudayaannya. “Kebudayaan hanya menari dan menyanyi, ini tidak memadai,” jelas Antik yang berpendapat Indonesia tidak memerlukan UU Kebudayaan.
Pendeta Yewagoe menambahkan, “Saya juga skeptis pada Undang-Undang Kebudayaan, apa yang mau dibudayakan di situ, hanya akan berupa cangkang tanpa isi.”
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...