Forum Rohaniawan Menuntut MPR Menjaga Pluralisme
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Dr. AA Yewangoe mengatakan bahwa keberagaman adalah given dan bukan untuk dipaksakan. Demikian dia katakan di tengah aksi yang dilakukan Forum Rohaniawan se-Jabodetabek, Senin (8/4) di Gedung DPR/MPR, Jakarta.
Aksi forum ini diikuti oleh sekitar 300 pendeta dari berbagai denominasi, serta diikuti oleh perwakilan Ahmadiyah, Syiah dan kelompok Kepercayaan, juga didampingi oleh Banser Nahdlatul Ulama. Mereka berangkat dari pintu 7 Gelora Senayan. Aksi ini berangkat dari keprihatinan maraknya diskriminasi dan tindakan intoleransi terhadap kelompok minoritas belakangan ini.
Yewangoe selanjutnya mengatakan bahwa kerukunan sebenarnya bagian dari bangsa Indonesia. Namun ada radikalisme yang menguat dan mengancam keutuhan bangsa. Banyak kelompok intoleran bergerak atas nama agama. Dia mengkritik, karena negara sering absen, dan tidak bertindak nyata, serta mengundang keruntuhan bangsa. Ada yang sakit dalam bangsa ini dan harus diobati.
Oleh karena itu, diharapkan kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia ditegakkan. Negara tidak boleh diperintah oleh kelompok intoleran dan tidak boleh menyerah pada kelompok intoleran yang tindakannya melampaui konstitusi negara Indonesia.
Forum tersebut kemudian diterima oleh Ketua MPR, Taufik Kiemas. Hadir dalam aksi tersebut adalah Ujang Tanusaputra dari GKI Taman Yasmin, Bogor, Sekjen HKBP (Hurian Kristen Batak Protestan), Mori Sihombing, perwakilan kelompok Kepercayaan, Dewi Kanti, perwakilan dari Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Rm Giudo Suprapto. Ketua MPR didampingi wakil dari Gerindra, PDI Perjuangan, Golkar, PKS, dan Hanura.
Ketua MPR menyatakan bahwa pihaknya akan menyuarakan apa yang disampaikan forum ini dalam pertemuan MPR, dan pertemuan dengan lembaga tinggi negara lainnya serta presiden. Pertemuan itu akan berlangsung pada April dan Mei mendatang. Menurut dia, pluralitas harus dijaga, karena itu juga terkait dengan hak azasi manusia.
Dalam pertemuan itu, Ujang Saputra mengatakan bahwa dalam kasus GKI Yasmin, yang terjadi kelompok intoleran sebenarnya telah menekan simbol negara. MA dan Ombudsman dilecehkan. Dan nilai-nilai Pancasila haruslah diwujudkan sebagai rumah bersama.
Dari KWI, Guido Suprapto mengatakan bahwa KWI prihatin atas kondisi bangsa dalam masalah kebebasan beragama dan beribadah. "Kaki bagian sepenuhnya dari bangsa ini, bukan anak tiri dan berhak mendapatkan perlindungan yang sama."
Menurut dia, ada kelemahan pada pemerintah pusat dalam menjaga hak konstitusi warga. Akibatnya, yang tumbuh subur adalah radikalisme yang bertindak semaunya melanggar konstitusi. "KWI meminta agar MPR bersikap tegas terhadap pemerintah yang lalai. MPR harus segera melakukan konsolidasi identitas bangsa yang berbasis pada Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika."
Dari kelompok Kepercayaan, Dewi Kanti mengatakan bahwa sudah terlalu lama kondisi buruk ini terjadi dan harus segera dihentikan. Kita semua harus bisa hidup berdampingan. Sedangkan dari HKBP, Mori Sihombing mengajak uhtuk menggumuli masalah ini dan berdoa agar pemerintah berubah menjadi lebih tegas menjaga konstitusi.
Selain itu, forum ini meminta agar pemerintah mereview Peraturan Bersama Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah. Sebab, peraturan ini telah menjadi sumber persoalan diskriminasi. Forum juga mengajak untuk menjaga persatuan bangsa dan mecegah perpecahan. Pertemuan itu diakhiri dengan bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya."
Ibu Kota India Tercekik Akibat Tingkat Polusi Udara 50 Kali ...
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Pihak berwenang di ibu kota India menutup sekolah, menghentikan pembangun...