Freeport Umumkan Kondisi Force Majeure di Papua
PHOENIX, ARIZONA, SATUHARAPAN.COM- Frepoort-McMoRan Inc mengatakan pada hari Jumat (17/2) tidak dapat memenuhi kewajiban kontrak kepada mitra bisnisnya untuk pengiriman konsentrat tembaga dari tambang Grasberg di Papua, menyusul larangan ekspor oleh pemerintah RI yang telah berlangsung selama lima minggu.
Ini adalah pernyataan force majeure kedua oleh produser tembaga besar dunia dalam satu pekan terakhir.
Produksi di tambang raksasa Freeport di Papua terhenti pekan lalu setelah pemerintah melarang ekspor konsentrat tembaga pada 12 Januari, bagian dari upaya untuk meningkatkan industri smelter di Indonesia.
Sementara itu sebelumnya, BHP Billiton Escondida di Cile, tambang tembaga terbesar di dunia, juga menyatakan force majeure pada tanggal 10 Februari, akibat pemogokan selama dua hari yang menghentikan produksi.
"Kedua pertambangan ini sedang berhenti produksi dan (produksinya) sekitar 2 juta ton - hampir 10 persen dari pasokan tembaga dunia - yang merupakan masalah besar," kata analis dari Jefferies, Chris LaFemina, dikutip dari Reuters.
Grasberg diharapkan menghasilkan 800.000 ton tembaga pada tahun 2017, sekitar 3,5 persen dari pasokan global, katanya.
Untuk terhentinya produksi setiap bulan, pasokan tembaga dunia berkurang sekitar 90 juta pound, kata LaFemina, dan menambahkan 70 juta pound produksi Garsberg diberikan kepada mitra usaha patungannya Rio Tinto.
Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan di mana satu pihak terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak. Keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, apabila pihak yang menyatakan force majeure tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.
Kemarin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Izin Rekomendasi Ekspor PT Freeport Indonesia untuk volume ekspor sebesar 1.113.105 Wet Metric Ton (WMT) konsentrat tembaga yang berlaku sejak tanggal 17 Februari 2017 sampai dengan 16 Februari 2018.
Namun PT Freeport Indonesia tidak serta-merta menerima rekomendasi tersebut karena diikuti oleh syarat Freeport mau menerima perubahan bentuk pengusahaan pertambangan dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi.
Freeport belum mau menerima IUPK karena belum memberikan kepastian hukum untuk investasi jangka panjang. Freeport bersedia mengubah KK menjadi IUPK apabila disertai dengan jaminan kepastian fiskal dan hukum yang sama dengan yang diatur dalam KK.
Yang ditolak oleh Freeport adalah bahwa kewajiban fiskal dalam IUPK memiliki prinsip prevailing, yaitu mengikuti peraturan perpajakan yang berlaku. Dengan demikian pajak dan royalti yang dibayar Freeport harus disesuaikan dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
Sementara dalam KK, kewajiban fiskal Freeport bersifat naildown, yang artinya pajak dan royalti yang dibayar besarnya tetap hingga masa kontrak berakhir.
Freeport menginginkan IUPK tidak memakai sistem prevailing karena khawatir dibebani pajak-pajak dan pungutan baru di kemudian hari.
"PT Freeport Indonesia akan terus melindungi hak-haknya berdasarkan KK sambil terus bekerja sama dengan pemerintah guna mencapai suatu perjanjian pengganti yang memuaskan kedua belah pihak," kata VP Corporate Communication PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, dikutip dari Detik.com.
Menurut Muhamad Said Didu, mantan Ketua Tim Penelaah Smelter Nasional Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan mantan Sekretaris Menteri BUMN, simalakama muncul akibat ketidaktegasan pemerintah mengambil keputusan dalam kisruh izin ekspor Freeport.
"Saya perkirakan jika tidak ada keputusan tegas bisa menjadi tuntutan arbitrase. Ini bisa jadi masalah serius." kata dia lewat akun Twitternya.
"Perlu diketahui bahwa aturan di AS jika ada perusahaan tambang AS diberlakukan tidak adil di LN maka pemerintah akan bantu full. Artinya jika terjadi arbitrase maka yang terjadi sebenarnya adalah pemerintah Indonesia melawan pemerintah AS."
"Saya pernah dapat informasi tidak resmi bahwa jika Freeport ajukan arbitrase kira-kira akan menuntut ganti rugi sekitar Rp 500 triliun."
Selain itu, menurut Said Didu, hal lain yang mendesak harus diselesaikan adalah kemungkinan PHK tahun 2017 yang mungkin sekitar 15.000 karyawan.
Lalu kemungkinan anjloknya ekonomi Papua secara drastis dipastikan terjadi apabila penghentian produksi terus berlangsung.
Menurut kajian LPEM UI pada dampak multifiler effect PT Freeport Indonesia terhadap ekonomi Papua, Freeport berkontribusi sekitar 91 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Mimika dan 37,5 persen terhadap PDRB Provinsi Papua.
Editor : Eben E. Siadari
Tentara Ukraina Fokus Tahan Laju Rusia dan Bersiap Hadapi Ba...
KHARKIV-UKRAINA, SATUHARAPAN.COM-Keempat pesawat nirawak itu dirancang untuk membawa bom, tetapi seb...