Gereja dan Sikap Memilih Kehidupan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - "Kini pilihlah kehidupan!" Petikan dari perintah terkenal dari Alkitab (Ul 30:19) itu rupanya yang mengilhami Sidang Raya ke-X Dewan Gereja se-Dunia (DGD) di Busan, Korea, 30 Oktober - 8 November nanti, yang bertemakan "God of Life, Lead Us to Justice and Peace". Dan usulan itu mula-mula datang dari gereja-gereja di Korea sejak tahun 2010.
Ini ditegaskan Olav Fykse Tveit, Sekjen DGD, saat memberi ceramah publik kemarin (17/5) di kampus STT Jakarta sebagai bagian dari Asian Ecumenical Course. "Fokus pada kehidupan itu mencerminkan kenangan gereja-gereja Korea pada pergulatan mereka dengan runtuhnya masyarakat feodal Korea sebagai akibat pendudukan Jepang dan pemerintahan kolonial," kata Olav, yang baru menjabat sebagai Sekjen DGD awal 2010 itu. "Sekalipun mereka mampu memerdekakan diri dari penjajahan Jepang, namun kengerian akibat perang telah membekas sangat dalam. Apalagi masyarakat Korea pasca perang harus menemukan diri mereka terbelah menjadi dua negara yang saling bermusuhan sampai sekarang."
Di tengah situasi pahit itulah gereja-gereja Korea menemukan makna baru bagi perintah untuk "memilih kehidupan", alih-alih penghancuran dan kematian. Sekaligus juga, menurut Olav, tema tersebut melukiskan pergulatan masyarakat Asia pada umumnya yang juga mengalami keterpecahan sebagai akibat pertentangan ideologi, warisan pemerintahan diktator militer, makin lebarnya jurang antara orang miskin dan kaya, pelanggaran berat HAM, maupun krisis ekologis yang makin parah.
Keprihatinan yang lahir dari konteks Asia itulah yang kemudian melatari pemilihan tema Sidang Raya ke-X DGD, yakni seruan "God of Life, Lead Us to Justice and Peace". Di dalamnya terkandung kesaksian bahwa kehidupan ini merupakan anugerah Allah, tetapi sekaligus doa permohonan agar Allah kehidupan itu pula yang menuntun gereja-gereja dan semua orang beriman untuk memperjuangkan keadilan dan perdamaian.
Bagi Olav, yang sebelumnya menjabat sebagai Sekjen Gereja-gereja Norwegia, tema Sidang Raya DGD itu menegaskan keterkaitan erat antara kehidupan, keadilan dan perdamaian. Ketiganya merupakan anugerah Allah yang merupakan Sang Sumber segala sesuatu. Itu sebabnya tema Sidang Raya DGD berbentuk doa permohonan.
Tema itu juga merupakan undangan bagi gereja-gereja untuk melakukan peziarahan bersama dalam mengupayakan keadilan dan perdamaian bagi semua orang. Dan ini mencerminkan kesadaran baru oikoumene, yang tidak lagi terfokus pada gereja-gereja, namun meluas dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Jika pada abad ke-XX fokus oikoumene ada pada keesaan gereja-gereja, pada abad ini gerakan oikoumene akan terfokus pada martabat manusia.
"Jika dilihat dari sejarah oikoumene, saya yakin bahwa keprihatinan pada keadilan dan perdamaian serta misi dan keesaan selalu saling terkait erat," ujar Olav menegaskan. "Martabat manusiawi merupakan fokus bagi seluruh inisiatif perjuangan HAM dan diterima sebagai landasan bersama dialog dan kerjasama antar-agama. Kehidupan yang bermartabat di dalam komunitas yang adil merupakan tolok ukur kesaksian dan tindakan bersama agama-agama."
Bukankah itu merupakan panggilan dasar agama-agama, untuk memilih kehidupan dan memuliakan martabat manusia?
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...