Gereja Diminta Beri Perhatian Serius Pornografi Anak
KUPANG, SATUHARAPAN.COM - Gereja dan pemerintah perlu memberikan perhatian serius kepada masalah pornografi, terutama dalam pelayanan terbaik bagi anak. Hingga saat ini Indonesia masuk kategori darurat pornografi untuk anak. Bahkan, Indonesia masuk urutan ketiga yang paling banyak mengakses situs-situs pornografi.
Hal itu disampaikan Ketua Badan Pengurus Nasional Jaringan Peduli Anak Bangsa (JPAB), Haryati Kristianto, dalam Seminar Kajian Teologi Anak Kontekstual dalam rangka Hari Anak Nasional 2016 yang diselenggarakan Jaringan Peduli Anak Bangsa (JPAB) Regional Nusa Tenggara Timur, bekerja sama dengan Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) di Kupang, Selasa (19/7) petang.
“Sekarang Indonesia darurat narkoba. Pornografi dan kekerasan seksual anak juga mengancam anak-anak di Indonesia. Selain itu Indonesia juga darurat pornografi. Indonesia urutan ketika paling banyak mengakses pornografi dan itu dilakukan oleh anak-anak kita,” kata Haryati.
Menurut Haryati, gereja perlu mendorong pemerintah untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang mengatasi pornografi anak, maupun kekerasan seksual terhadap anak.
Gereja juga perlu berupaya menghentikan penyalahgunaan anak dalam politik. Gereja perlu peduli terhadap kekerasan terhadap anak dalam politik.
Eksploitasi anak untuk kepentingan politik termasuk kekerasan pada anak. Keprihatinan terbesar juga adalah anak saat ini bukan hanya sebagai korban, tetapi juga pelaku kekerasan.
Atas keprihatinan itu, Haryati mengajak agar gereja meningkatkan pelayanan dan memberikan perhatian yang komperhensif bagi anak dalam seluruh kebijakan pelayanannya.
"Anak adalah manusia yang seutuhnya, bukan setengah atau seperempat manusia. Karena itu pelayanan untuk anak harus diberikan seutuhnya sebagai seorang manusia,” ia menegaskan.
Sementara itu, Ketua Sinode GMIT Pdt Dr Mery Kolimon pada kesempatan tersebut mengatakan di dalam Alkitab secara jelas ditegaskan bahwa anak itu adalah milik pusaka Allah, yang diciptakan sesuai gambar dan rupa Allah sendiri. Karena itu, dalam diri anak terdapat kapasitas Illahi serta Tuhan mempunyai rencana khusus untuk kehidupan setiap anak dan rencana Allah itu adalah rencana damai sejahtera.
Namun, dalam kenyataan, kata Mery, gereja saat ini justru harus bergumul dengan pandangan budaya tentang anak. Bahkan pandangan budaya ikut mempengaruhi sikap gereja terhadap anak.
“Anak di NTT masih dianggap sebagai manusia kelas tiga. Kelas teratas adalah laki-laki dewasa dan di tengahnya adalah perempuan dewasa dan anak berada pada level terendah. Bahkan anak masih ada pembedaan lagi, yakni anak laki-laki dianggap lebih tinggi nilainya dibanding anak perempuan,” ujarnya.
Mery menegaskan tanggung jawab gereja dan juga pemerintah dan masyarakat terhadap anak di NTT saat ini adalah memberikan pelayanan sepenuhnya bagi anak termasuk pengasuhan terhadap anak yang holistik, baik menyangkut hati, pikiran, mental, jiwa, dan tubuh anak. Anak bukan hanya sasaran pelayanan tetapi juga adalah pelaku pelayanan.
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...