Gereja Melayani Kelompok Paling Rentan di Sudan Selatan
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM – Di tengah perang dan kelaparan di Sudan Selatan, gereja Katolik masih melayani kelompok yang paling rentan meskipun pemerintahan di Sudan Selatan mengalami kekacauan.
“Gereja adalah satu-satunya institusi yang berfungsi melayani masyarakat sipil," kata presiden Sudan Relief Fund, Neil Corkery, hari Senin (13/3).
“Gereja benar-benar merupakan satu-satunya insitusi yang mencoba membantu orang-orang yang hidup di tempat terpencil,” kata Corkery.
Bencana kelaparan akhir-akhir ini merupakan hal yang akrab terjadi di Sudan Selatan. Di negara itu saat ini sering terjadi perang sipil, yang mengganggu perdamaian yang terjadi sejak tahun 2013.
Empat puluh dua persen dari populasi, atau diperkirakan 4,5 juta orang Sudan Selatan, menghadapi bencana kelaparan yang parah, kata Corkery.
Dia mengatakan jumlah itu diperkirakan akan meningkat menjadi 5,5 juta pada bulan Juli mendatang. Sebuah laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa konflik mengakibatkan tingkat kesengsaraan bagi warga sipil.
“Krisis ini adalah buatan manusia, konsekuensi langsung dari konflik berkepanjangan oleh para pemimpin Sudan Selatan yang tidak bersedia untuk menyisihkan ambisi politik untuk kebaikan rakyat mereka," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat Mark C. Toner menyatakan pada 21 Februari.
Amerika Serikat, kata Toner, meminta Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir untuk menghormati keberadaan organisasi kemanusiaan dan memastikan sejumlah organisasi tersebut tidak terhambat memberi bantuan kepada penduduk yang membutuhkan.
Baru-baru ini, Presiden Salva Kiir menyerukan hari doa bagi negara menjelang dialog nasional, namun seorang uskup dari Juba, Sudan Selatan mengatakan peringatan doa tersebut adalah ajakan yang bernuansa politik, karena terjadi di tengah kekerasan yang dilakukan pemerintah.
Corkery mengatakan di sebuah paroki di keuskupan Tombura-Yambio, di bagian barat daya Sudan Selatan adalah daerah yang sangat subur dan pernah menjadi penghasil gandum bagi negara tersebut. “Tetapi sekarang orang-orang bersembunyi, atau berlindung di paroki, dan tidak dapat menanam tanaman,” kata Corkery.
“Saat ini menurut saya yang jelas kita dikhawatirkan akan mendapatkan hal yang buruk,” kata Corkery.
“Ini adalah krisis yang nyata,” kata Corkery.
Sejumlah uskup di Sudan Selatan banyak yang berbicara menentang kekerasan. Uskup menuduh tentara melakukan kejahatan perang dan mengatakan bahwa kekerasan menganggu kinerja pertanian.
Dalam sebuah pesan pastoral pada akhir Februari 2017, sejumlah uskup menyerukan panggilan kepada semua pihak, faksi, dan individu untuk menghentikan perang. Namun pada kenyataannya pembunuhan, pemerkosaan, penjarahan, pencurian, dan serangan terhadap gereja-gereja dan perusakan harta benda terus terjadi di seluruh negeri. (catholicnewsagency.com)
Editor : Eben E. Siadari
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...