Gereja Papua Minta Pemerintah Adili Aparat Pelaku Kekerasan
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Forum Kerja Oikumenis Gereja-gereja Papua menyatakan keprihatinannya bahwa negara (aparat keamanan) seperti tidak menjalankan amanat untuk melindungi umat gereja dalam suasana kekerasan yang terus terjadi di tanah Papua.
“Kami sebagai gereja sangat prihatin. Kalau ada, mereka adalah pelaku yang kebal hukum bahkan terkesan aparat ikut bermain dan peran memperkeruh situasinya, alias pagar makan tanaman,” ungkap mereka di Kantor Sinode Kingmi, Jayapura, Papua, Rabu (24/9) siang.
Melalui siaran pers yang diterima satuharapan.com, dirincikan insiden-insiden berikut sebagaimana yang terjadi di tanah Papua.
Januari 2014
Adanya pembiaran terhadap konflik dan perang suku di Timika yang telah menewaskan, sejumlah orang dan seorang hamba Tuhan, dan beberapa Jemaat Gereja Kingmi terpaksa ditutup dan mengungsi lalu beribadah di luar (alam terbuka).
Tanggal 12 Juni 2014
Tindakan Kriminalisasi dan Teror terhadap Pengacara HAM, Gustaf Kawer di Jayapura.
Tanggal 02 Juli 2014
Insiden di Pasar Youtefa, Jayapura kota, aparat keamanan bertindak brutal dan menewaskan lima orang mahasiswa Papua. Sampai saat ini belum ada proses hukum.
Tanggal 28 Juli 2014
Insiden Lani Jaya yang menurut warga jemaat berawal dari aparat Polisi yang hendak menjual amunisi dan senjata kepada TPN/OPM, lalu terjadi baku tembak yang menelan korban.
Tanggal 08 Agustus 2014
Insiden penangkapan dan penyiksaan Robert Yelemaken (16) tahun anak dari Pdt. Benyamin Yelemaken gembala sidang jemaat Kingmi Kairos di kota Manokwari, dan Onni Weya. Mereka ditangkap, diperlakukan sewenang-wenang, disiksa, dan ditahan selama dua minggu lebih oleh TNI.
Tanggal 20 Agustus 2014
Insiden penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan kilat terhadap Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Sorong Raya, Mathinus Yohame (26) yang hingga kini tidak jelas pengungkapannya.
Tanggal 22 Agustus 2014
Insiden pembunuhan Korea Wakerkwa (kepala suku) di Timika. Berdasarkan keterangan masyarakat, aparat keamanan mencurigai korban sebagai pendukung TPN/OPM (Tentara Pembebasan Nasional/Operasi Papua Merdeka) di Lani Jaya, namun sampai sekarang polisi belum mengungkap motif dan pelakunya.
Tanggal 06 September 2014
Polres Keerom-Arso tidak mengawal massa yang bertindak anarkis, sehingga aksi meluas dan membakar 17 rumah warga dan sejumlah rumah lainnya di rusak.
Tanggal 15 September 2014
Pihak Polisi memaksa Jemaat Kingmi Haleluyah Entrop Kota Jayapura, untuk menggunakan fasilitas gereja dalam rangka penyambutan dan pengukuhan Kapolda Papua yang baru secara adat Papua, sehingga rencana acara tersebut telah memecah belah dan meresahkan jemaat.
Tanggal 16 September 2014
Tindakan Kriminalisasi dan Teror terhadap Pengacara HAM, Anum Siregar di Wamena.
Tanggal 18 September 2014
Penembakan terhadap Videlis Jhon Agapa di Jalan Trans Nabire-Illaga, KM 74. Menurut masyarakat, korban ditembak oleh aparat keamanan.
Tanggal 19 September 2012
Tindakan Kriminalisasi dan Teror terhadap Pengacara HAM, Olga Hamadi di Wamena.
“Insiden-insiden tersebut yang kami terima berdasarkan laporan dari jemaat dan petugas gereja. Masih banyak lagi peristiwa lain yang tidak dicatat di sini. Kekerasan demikian bukan baru terjadi tahun ini. Kami sebagai Gereja Papua dan jemaat terus-menerus hidup dalam kondisi seperti ini sejak tahun 1960-an,” ungkap Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua, Pdt. Dr. Benny Giay yang didampingi oleh Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (PGBP), Pdt. Socratez Yoman.
“Akibat peristiwa kekerasan tersebut, refleksi di gereja beberapa bulan terakhir ini kami sering mengangkat tema kekerasan dan kejahatan sedang menggagahi kami dan tanah kami. Secara sosial kami bertanya, di mana negara saat jemaat kami menjalani kekerasan ini? Kalau ada, apa perannya? Jawaban terhadap pertanyaan reflektif ini barangkali terungkap dalam pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal 16 Desember 2011 di Cikeas, Bogor, di depan pimpinan gereja-gereja.”
“Kekerasan terus beranak pinak di tanah Papua, karena ada kelompok garis keras (hard liners) yang tidak mau demokrasi, tidak mau dialog dan mau menang sendiri, alias ultra-nasionalis. Kelompok ini sedang bermain di tanah Papua, secara terbuka dan tertutup. Untuk mewujudkan Papua tanah damai, mari kita telanjangi dan mengungkap motif dan pelaku dari kelompok ini; sehingga kasus kekerasan tersebut bisa kita akhiri.” seru mereka.
Editor : Bayu Probo
LISA Siap Konser Spesial di Jakarta 15 November
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Big Ground Entertainment bersama Sunny Side Up akan menghadirkan Fan Meet...