Gunung Es Itu Mencair Karena Seulas Senyum
Saya menyiapkan hati, lebih tepatnya menebalkan telinga, berusaha tidak berserobok mata dengannya, bersikap cuek.
SATUHARAPAN.COM – Beberapa kali saya menghadapi masalah jika berinteraksi dengan dia. Perkataan-perkataannya yang setajam pisau kadang menggores dan menusuk perasaan. Belum lagi dengan sindiran yang entah disengaja atau tidak dilontarkan secara terbuka terhadap saya. Hal ini membuat saya mencari aman, yaitu menghindarinya.
Seperti main petak umpet, saya berusaha melakukan hal yang tidak berhubungan dengannya selama bertahun-tahun, sampai akhirnya datanglah kejadian tak terduga, saya harus menghadapinya. Perasaan kesal tebersit, tanpa sadar saya menghitung kesalahan-kesalahannya menjadi gunung es dalam hati saya. Tetapi sebagai seorang dewasa, tentu saja petak umpet ini harus disudahi karena kepentingan yang lebih utama.
Pertama-tama, saya menyiapkan hati, lebih tepatnya menebalkan telinga, berusaha tidak berserobok mata dengannya, bersikap cuek. Percakapan dilakukan seadanya, secepat mungkin. Sampai akhirnya saya mendapatinya sedang memandang saya, dan mata saya pun terkunci menatap matanya. Udara di antara kami serasa membeku dalam beberapa detik, dan di tengah suasana tanpa kata itu dia tersenyum. Hal yang tak terduga, karena itu saya pun balas tersenyum padanya. Tiba-tiba, hati ini terasa hangat, dan gunung es itu mencair. Kekesalan akan perlakuannya di masa lalu yang sebelumnya menimbulkan sakit, lenyap tak berbekas. Perasaan tersakiti itu meleleh begitu saja.
Ternyata, seulas senyumlah yang mencairkan gunung es di antara kami.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...