Harta yang Paling Berharga
SATUHARAPAN.COM – Semasa remaja hubunganku dengan saudara-saudaraku kandungku cukup kompak. Kami berempat sering pergi makan bakso atau soto mie bersama, tetapi bayarnya masing-masing. Adikku yang kedua selalu ikut bila kami pergi ke kedai bakso atau soto mie, namun ia jarang sekali membeli. Yang membuatku jengkel , ia selalu meminta kepada adik atau kakakku 1 atau 2 sendok berikut baksonya 1 atau 2 butir.
Ketika ditanya mengapa ia tidak pernah membeli padahal punya uang saku, ia menjawab, ”Lebih baik uangnya untuk mentraktir teman di sekolah.” Kami semua segera minta ditraktir. Namun, jawabannya sungguh mengejutkan: ”Kalian semua kan saudaraku—adik dan kakakku—tidak ditraktir pun kita tetap bersaudara. Tetapi, kalau teman-teman tidak ditraktir mereka tidak mau main denganku.”
Ikatan darah memang tidak akan pernah hilang, sampai kapan pun. Saat lahir keluargalah yang menyambut kita dengan sukacita, saat kita meninggal keluarga juga yang akan mengantar kita dalam duka. Keluarga selalu ada untuk mengasihi, menolong ataupun mendukung kita dalam suka dan duka. Keluarga juga selalu menerima ”apa adanya” kita dan bukan ”ada apanya” kita.
Mungkin, itulah yang menyebabkan kita kadang abai terhadap keluarga. Kita seperti berwajah ganda, di luar rumah bersikap murah hati, tetapi pelit setengah mati pada adik dan kakak. Tidak pernah bermanis-manis kepada anggota keluarga karena kita tahu mereka akan selalu ada pada saat dibutuhkan. Justru karena mereka dekat, kita sering melupakan mereka.
Padahal, sebagaimana soundtrack Keluarga Cemara, ”harta yang paling berharga adalah keluarga".
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...