Hiburan Akrobatik Lumba-lumba Sudah Kuno
JAKARTA - “This is 21st century, harusnya sudah lebih maju lagi. Tapi entah mengapa kita (Indonesia) masih saja mempertunjukkan bentuk sirkus yang sangat kuno ini,” demikian ucap Femke de Haas, Ketua Jakarta Animal Aid Network (JAAN) saat ditanya mengenai keberadaan sirkus lumba-lumba keliling, Kamis (14/3).
Kegiatan sirkus lumba-lumba keliling yang diklaim bertujuan mengedukasi masyarakat, seperti dijelaskan Femke, justru merupakan suatu tindakan penyiksaan bagi lumba-lumba itu sendiri. Hal ini juga sangat dikecam oleh sejumlah aktivis pencinta hewan yang menuntut agar sirkus lumba-lumba keliling dihapuskan dan dilarang keberadaannya.
Femke menambahkan, bahwa sirkus lumba-lumba keliling yang masih dilakukan di beberapa daerah di Jawa dan Bali itu, merupakan bentuk nyata penyiksaan hewan dan tidak memberikan pendidikan apapun kepada masyarakat. Lumba-lumba di-'paksa' beraksi dalam sirkus, seperti melompati lingkaran api, dengan cara dipaksa untuk menjadi lapar terlebih dahulu, sehingga saat lumba-lumba berhasil melakukan atraksi, barulah mereka diberi makanan.
“Dalam keadaan tidak lapar, mereka (lumba-lumba) tidak akan tampil (melakukan atraksi sirkus),” kata Femke.
Bahkan menurut pernyataan Femke, pangan ikan yang diberikan untuk konsumsi lumba-lumba bukanlah ikan yang segar dan sesungguhnya tidak layak untuk diberikan kepada lumba-lumba. Banyak lumba-lumba yang menjadi kurus, sehingga terkena penyakit bahkan sampai mati, karena perlakuan tersebut.
Nadine Chandrawinata, mantan Putri Indonesia yang juga seorang aktivis lumba-lumba, juga menegaskan bahwa lumba-lumba di sirkus keliling mendapat perlakukan yang tidak layak, seperti dipaksa untuk berpuasa dan tidak diberikan makanan. Hal itu tidak menunjukan sebuah bentuk pendidikan mengenai lumba-lumba, melainkan bentuk penyiksaan.
“Pada saat melakukan atraksi, mereka (lumba-lumba) dipaksa (untuk melakukan atraksi sirkus) dengan dibuat (menjadi) lapar,” tutur Nadine, Rabu (13/03/2013).
Sonar
Selain itu, proses pengangkutan lumba-lumba dari laut menuju tempat sirkus, juga dapat membuat hewan mamalia itu menjadi stress. Mereka dipindahkan menggunakan kendaraan yang bising di dalam kotak-kotak besi, sehingga mengganggu sistem sonar mereka. Lumba-lumba adalah hewan sosial yang sangat bergantung pada komunikasi melalui gelombang sonar dengan sesama mereka. Sehingga saat mereka tidak dapat berkomunikasi satu sama lain, mereka dapat mudah tertekan dan menjadi stress.
“Lumba-lumba menjadi stress saat perpindahan. Hal itu mengganggu komunikasi mereka dan bisa menghambat reproduksi,” kata Nadine menjelaskan dampak buruk proses perpindahan lumba-lumba.
Bahkan air yang dipakai juga bukanlah air laut, melainkan campuran air tawar dengan air laut dan ditambah zat kimia seperti klorin. Air campuran itu amat berbahaya untuk kulit lumba-lumba yang sensitive, dan klorin dapat membuat mata lumba-lumba menjadi buram bahkan bisa menyebabkan kebutaan. Lalu untuk menjaga lumba-lumba tetap lembab dan dingin, pengelola sirkus tidak mengoleskan pelembab khusus melainkan mentega untuk masakan.
Femke menjelaskan bahwa bentuk edukasi lumba-lumba yang paling tepat adalah bukan melalui sirkus keliling yang memaksa lumba-lumba untuk melakukan atraksi yang bukan sifat alami mereka, namun melihat aksi lumba-lumba di habitatnya yang asli yakni di lautan lepas.
“Sirkus bukanlah habitat mereka. Hewan menjadi mati karena hidup tidak sesuai dengan habitat mereka. Jika ingin belajar satwa, belajarlah dari alam (habitat aslinya),” tutur Femke.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...