Hizbut Tahrir Indonesia: Demokrasi Menyuburkan Korupsi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Hasil dari demokasi di Indonesia dinilai Hizbut Tahrir Indonesia masih jauh dari harapan. Selain belum menghasilkan pemimpin yang amanah, demokrasi yang sudah lebih 10 tahun mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara justru menyuburkan korupsi. "Korupsi dan demokrasi seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan karena praktek demokrasi yang mengagungkan popular vote membutuhkan dana yang sangat besar. Salah satu caranya dengan korupsi itu," kata juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ustadz HM Ismail Yusanto.
Ia prihatin korupsi juga melanda Partai Keadilan Sejahtera sebagai partai dakwah. "Sebetulnya semua partai, saya duga juga korupsi. Tapi kebetulan yang terungkap PKS," ujarnya.
Menurut Ismail, demokrasi di Indonesia perlu dikaji ulang kembali. Bila memang tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia, menurut dia, sebaiknya tidak dilanjutkan. Ia mengingatkan sila keempat Pancasila, bahwa dalam pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah. "Sila keempat Pancasila berbunyi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan dan perwakilan," tuturnya.
Pengurus DPP HTI Ustadz Farid Wadjdi pun mencontohkan demokratisasi di kawasan timur tengah pun tidak membawa perubahan yang mendasar. "Tidak ada kebijakan baru dalam upaya mengimbangi kekuatan Israel di antara negara-negara di kawasan itu," ujarnya.
Indonesia terdiri dari keanekaragaman baik dari daerah, bahasa, adat istiadat, bahkan keyakinan dimana menjadi isu terpenting yang selama ini sering mengalami permasalahan. Dengan adanya pluralitas masyarakat tidak menjadi penghalang penegakan syariah itu sendiri, karena syariah pun bisa dilaksanakan walaupun adanya perbedaan. "Pengaturan yang berkaitan dengan keyakinan/keimanan, ibadah, makanan, pakaian disesuaikan dengan agama masing-masing, tetapi dalam kehidupan politik wajib mengikuti ketentuan isian syariah. Selama ini ada salah paham seolah-olah syariah itu mengancam seluruh umat manusia," ujar Ismail.
Menanggapi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan menerima penghargaan dari sebuah Yayasan di New York, Ismail menyatakan bahwa penghargaan tersebut tidaklah penting, "Penghargaan itu penghargaan apa? Presiden tidak berbuat apa-apa, kekerasan terpicu karena negara yang tidak tegas. Yang terpenting adalah substansi dari Presiden dalam menanggapi isu pelecehan agama, isu penolakan pendirian Masjid, isu penolakan pendirian Gereja." tegas Ismail.
Editor : Yan Chrisna
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...