Komnas Perempuan akan Bawa Kasus Intoleransi ke Advokasi Internasional
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) akan membawa isu diskriminasi dalam kebebasan beragama pada advokasi internasional. Komnas Perempuan menilai selama ini usaha advokasi di tingkat nasional tidak pernah berhasil.
Hal ini dikatakan Masruchah, selaku wakil pimpinan Komnas Perempuan saat berdiskusi dengan korban perda-perda diskriminatif yang datang dari berbagai daerah seperti dari Nanggroe Aceh Darrusallam, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan, Senin (27/5).
Dalam diskusi yang diselenggakan di kantor Komnas Perempuan, terungkap banyak terjadi diskriminasi dalam pelaksanaan kebebasan beragama di masyarakat seperti penutupan 17 gereja di Singkil dan penutupan pesantren beraliran tasawuf di Aceh. Dalam kasus yang terjadi di Aceh selalu dikaitkan dengan dua pasal "sesat menyesatkan" dan "menjurus sesat" yang fatwa ini dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).
Veriyanto Sitohang, wakil dari Aliansi Sumut Bersatu (ASB) menyatakan berdasar hasil pemantauan ASB ada peningkatan kasus yang cukup signifikan di Sumatra Utara. Pada tahun 2011, kami mencatat ada 62 kasus intoleransi terjadi di Sumatra Utara kemudian meningkat pada tahun 2012 menjadi 75 kasus.
"Komnas Perempuan akan mendiskusikan semua kasus ini untuk di dorong ke advokasi Internasional, karena sudah banyak advokasi di nasional tapi tidak berhasil. Mengingat selama ini laporan-laporan dari Komnas Perempuan sering dijadikan rujukan oleh anggota-anggota PBB." Demikian kata Masruchah seperti dikutip dari situs Komnas Perempuan.
"Jadi poin singkatnya adalah agar Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Dalam Negeri akan mencoba mereview kembali peraturan bersama ataupun SKB 3 Menteri karena ini bertentangan dengan hak-hak konstitusi warga. Ini juga yang Komnas Perempuan dialogkan." Kata Masruchah.
Dia menambahkan bahwa selama ini Komnas Perempuan telah memiliki pelapor khusus untuk kebebasan beragama, yang selama ini melakukan dokumentasi dan kajian-kajian kritis. "Sehingga ini bisa dijadikan alat untuk mendesak pemerintah dan pihak-pihak terkait bagaimana sikap yang harus dilakukan oleh kekerasan atas nama agama."
Saur Tumiur Situmorang dari seksi Pemulihan Komnas Perempuan yang ikut dalam diskusi mengatakan, "Dari semua kasus yang dipaparkan oleh kawan-kawan jadi sebenarnya bungkus besarnya adalah tidak adanya jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya."
Editor : Sabar Subekti
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...