HRW Melaporkan Pembersihan Etnis Muslim Rohingya di Myanmar
BANGKOK, SATUHARAPAN.COM - Human Rights Watch (HRW) mengeluarkan laporkannya pada Senin (22/04) perihal pemerintah Myanmar dan etnis Arakan yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan dalam gerakan pembersihan etnis Rohingya Muslim di negara bagian Arakan.
Laporan 153 halaman, "'All You Can Do is Pray': Crimes Against Humanity and Ethnic Cleansing of Rohingya Muslims in Burma’s (Myanmar) Arakan State," menunjukkan peran nyata pemerintah Myanmar dan otoritas negara bagian Arakan dalam program pengusiran lebih dari 125.000 warga Rohingya Muslim dan Muslim lainnya. Pengusiran secara terstruktur dan memakan korban jiwa ini dinilai HRW sebagai krisis kemanusiaan.
Pejabat-pejabat Myanmar, tokoh masyarakat, dan para biksu Budha secara terorganisir mendorong etnis Arakan melakukan penyerangan dan teror hingga merelokasi paksa penduduk etnis Rohingya Muslim dari wilayah tempat tinggalnya. Gerakan tersebut juga didukung oleh aparat bersenjata. Gerakan terorganisasi ini dimulai sejak Oktober 2012.
"Pemerintah Myanmar terlibat dalam gerakan pembersihan etnis Rohingya yang berlanjut hingga hari ini melalui penolakan bantuan dan pemblokiran akses bantuan," kata Phil Robertson, wakil direktur HRW untuk Asia. "Pemerintah perlu untuk segera menghentikan pelanggaran dan menghukum para pelaku atau bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi lebih lanjut terhadap minoritas etnis dan agama di negara ini."
Menyusul kekerasan sektarian antara etnis Arakan dengan etnis Rohingya pada Juni 2012, yang mengakibatkan banyak masjid rusak, kekerasan massal, serta pemblokiran bantuan kepada pengungsi Muslim. Pada 23 Oktober, setelah beberapa bulan mengadakan koordinasi dan kampanye pembersihan etnis, warga Arakan mulai menyerang masyarakat Muslim di sembilan kota. Desa-desa dihancurkan, pembunuhan etnis Rohingya Muslim terjadi sementara pasukan keamanan hanya diam dan melihat aksi kekerasan itu. Warga yang meninggalpun asal dikubur di kuburan massal.
Dasar penyusunan laporannya Human Rights Watch dengan melakukan peninjauan langsung di wilayah Arakan setelah terjadi gelombang aksi kekerasan pada bulan Juni dan Oktober 2012. Juga mendatangi lokasi konfik dan setiap kamp pengungsian besar. Laporan ini juga mengacu dan didasarkan pada lebih dari 100 wawancara dengan warga Muslim Rohingya dan non-Muslim Rohingya juga warga Arakan yang menjadi korban atau yang menyaksikan aksi kekerasan, serta beberapa pelaku kekerasan.
Dalam penelusuran Human Rights Watch menemukan bukti empat lokasi kuburan massal di Arakan, tiga kuburan berhubungan konfik awal di bulan Juni dan satu kuburan dari aksi bulan Oktober. Ditemukan pula data-data kalau pasukan keamanan berusaha menghilangkan bukti-bukti tersebut dengan menggali kuburan massal itu dan menghancurkan.
Di wilayah negara bagian Arakan selanjutnya dilaporkan mengalami krisis kemanusiaan karena pemblokiran sistematis yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap bantuan kemanusiaan yang masuk untuk pengungsi Rohingya Muslim.
Lebih dari 125.000 warga Rohingya, Muslim non-Rohingya, dan sebagian kecil warga Arakan, berada dipengungsian sejak Juni 2012, puluhan ribu diantaranya menghadapi berbagai ancaman penyakit karena kondisi penampungan yang tidak sehat.
Selain itu, kekurangan bantuan, perlindungan, dan ancaman kekerasan yang terus berlanjut memaksa puluhan ribu Muslim Rohingya melarikan diri melalui laut. Mereka berharap mendapat perlindungan di Banglades, Malaysia, atau Thailand, dan ribuan orang lainnya tampaknya siap untuk melakukan hal yang sama. Beberapa ratus orang pengungi yang lari dilaporkan meninggal di laut.
Menurut hukum internasional, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis oleh pemerintah atau organisasi terhadap penduduk sipil. Di antara kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan terhadap Rohingya sejak Juni adalah pembunuhan, deportasi dan pemindahan penduduk secara paksa, dan penganiayaan.
HRW menyimpulkan adanya "Pembersihan Etnis", meskipun bukan istilah hukum formal, telah ditetapkan sebagai kebijakan terarah oleh kelompok etnis atau agama untuk menghapus etnis lain di wilayah tertentu melalui kekerasan dan teror.
Dasar inisiatif pembersihan terhadap orang Rohingya Muslim di Myanmar adalah UU Kewarganegaraan tahun 1982, yang secara efektif menolak kewarganegaraan warga Rohingya Muslim Myanmar atas dasar etnis diskriminatif. Karena hukum tidak menganggap Rohingya Muslim menjadi salah satu dari delapan "ras nasional," yang diakui dan yang berhak mendapat kewarganegaraan penuh.
Mereka warga Rohingya Muslim harus menyerahkan "bukti" bahwa nenek moyang mereka menetap di Myanmar sebelum kemerdekaan pada tahun 1948. Sangat sulit dan hampir mustahil bagi sebagian besar keluarga Rohingya Muslim memenuhi tuntutan itu.
Selama ini pemerintah dan masyarakat Myanmar menganggap Rohingya sebagai imigran gelap yang berasal dari Banglades dan bukan "ras nasional" Myanmar, oleh sebab itu pemerintah menolak menjadi warganegaranya. Pemerintah Myanmar secara resmi menyebut mereka sebagai "Bengali."
Human Rights Watch mendesak pemerintah Burma untuk segera mengubah UU Kewarganegaraan 1982 dan menghilangkan diskriminatif serta memastikan anak-anak Rohingya Muslim juga memiliki hak untuk memperoleh kewarganegaraan.
"Burma harus menerima sebuah komisi internasional independen untuk menyelidiki kejahatan terhadap kemanusiaan di negara bagian Arakan, mencari korban, dan memberikan ganti rugi," kata Robertson. " Pendukung Myanmar harus bangun dan menyadari keseriusan penderitaan Rohingya, dan menuntut Pemerintah segera menghentikan pelanggaran, mempromosikan kembali rasa aman pengungsi Muslim, dan memastikan akuntabilitas untuk mengakhiri siklus kekerasan mematikan di negara bagian Arakan."
(hrw.org)
Jakbar Tanam Ribuan Tanaman Hias di Srengseng
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Barat menanam sebanyak 4.700...