Hukum Rakyat Diabaikan dan Diokupasi Negara
CIBUBUR, SATUHARAPAN.COM – Hukum rakyat itu bukanlah istilah baru. Hukum rakyat itu sebenarnya tumbuh seiring kehidupan masyarakat itu sendiri dan tumbuh bersama budaya masyarakat. Hukum rakyat lahir karena kebiasaan masyarakat dan budaya masyarakat yang masih dipakai. Hukum rakyat ini juga biasa dipakai untuk memelihara dan melestarikan sumber daya alam. Adat merupakan bagian dari hukum rakyat atau hukum lokal. Masalahnya, hukum rakyat saat ini cenderung diokupasi negara.
“Masalah muncul karena tiba-tiba suatu kawasan hutan adat itu dijadikan taman nasional atau hutan lindung. Penggunaan istilah kawasan hutan seolah-olah mempromosikan bahwa hutan yang ada di dalam kawasan hutan itu hutan negara, padahal sebenarnya bukan.” Kata Andik Hardiyanto ketika diwawancara di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Hukum Rakyat di Cibubur pada hari Rabu (9/10).
Andik Hardiyanto dari Badan Pengurus HuMa ini menjelaskan bahwa hukum nasional Indonesia sama sekali tidak melihat hukum rakyat yang bekerja efektif. hal ini diakibatka hukum rakyat yang cenderung diokupasi negara. Padahal hukum rakyat yang menawarkan penyelesaian masalah di luar pengadilan secara efektif dan dapat memberikan keamanan serta kesejahteraan.
Keputusan hukum rakyat selama ini dihasilkan dari forum-forum mediasi. Tetapi hasil itu itu dianggap belum sah kalau tidak atau belum dibawa ke pengadilan untuk disahkan.
Andik Hardiyanto mengatakan,“Hukum rakyat itu harusnya punya posisi di hukum nasional. Hukum rakyat tetap harus diakui, itu yang kita sebut dengan hukum rakyat.”
Sementara hukum nasional Indonesia lebih memfasilitasi kepentingan-kepentingan ekonomi pembangunan, bisnis, perbankan, dan investasi. Hukum rakyat selama ini dimarjinalkan.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Jaktim Luncurkan Sekolah Online Lansia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur meluncurkan Sekolah Lansia Onl...