Indonesia Akui Batasi Kebebasan Berekspresi di Papua
JENEWA, SATUHARAPAN.COM - Pada tanggal 10 dan 11 Maret 2013 lalu, Komisi Hak Asasi Manusia PBB (Office of the High Commissioner for Human Rights, OHCHR) meninjau pelaksanaan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, salah satu hak asasi manusia paling penting yang sudah diratifikasi Indonesia dan Indonesia berkewajiban untuk menjalankan jaminan perlindungan hak-hak itu di Indonesia. Demikian siaran pers bersama Fransiskan International, Hak Asasi Manusia dan Perdamaian untuk Papua (ICP), Imparsial, Kontras, Tapol, dan West Papua Network pada hari Kamis (11/7).
OHCHR menyoroti kekerasan yang sedang berlangsung di Papua dan menyesalkan penggunaan kekuatan berlebihan oleh pasukan keamanan Indonesia. Karena tidak ada mekanisme yang efektif yang tersedia untuk menahan anggota militer dengan akuntabel, Komite melihat kembali kejadian pelanggaran dengan kemungkinan Indonesia sampai mengambil langkah-langkah untuk mengembangkan prosedur pengaduan yang efektif. Komite mengacu pada tingginya angka pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua selama dua tahun terakhir dan menyesalkan penggunaan kekerasan dalam membubarkan protes damai di Papua.
Poengky Indarti dari pemantau hak asasi manusia Imparsial mengatakan “diskusi tentang Papua di Komite HAM PBB menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang sedang berlangsung di Papua terus menjadi perhatian utama bagi masyarakat internasional.”
Sementara pengadilan militer Indonesia dalam banyak kasus tidak terbuka untuk umum dan dengan demikian kurang transparan, kurang adil, dan independen, delegasi pemerintah Indonesia dengan salah menyatakan kepada Komite bahwa pengadilan ini umumnya dapat diakses oleh publik. Indria Fernida dari Tapol di London terkejut melihat tingkat penolakan kekurangan kelembagaan yang melanggengkan budaya impunitas di Indonesia.
“Korban kecewa dengan kegagalan Pengadilan HAM di Papua dan sangat membutuhkan mekanisme pengaduan yang efektif atas pelanggaran yang dilakukan oleh militer,” kata Indria Fernida.
OHCHR menekankan bahwa pengadilan penahanan anggota militer yang bertanggung jawab harus terbuka, adil, transparan dan akuntabel. LSM yang menghadiri peninjauan mengharapkan OHCHR memberikan rekomendasi yang kuat kepada pemerintah untuk meninjau UU Pengadilan Militer.
Delegasi Pemerintah menyatakan kepada OHCHR bahwa media lokal di Papua bebas untuk mempublikasikan berita. Sementara itu, kasus intimidasi, ancaman, dan kekerasan terhadap wartawan lokal di Papua terus berlanjut. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat internasional harus menyaksikan pembunuhan di luar hukum jurnalis Ardiansyah Matrais dan serangan kekerasan terhadap jurnalis Banjir Ambarita.
Dalam penilaiannya, OHCHR juga menyesalkan situasi kebebasan berekspresi dan masalah tahanan politik di Papua. Letnan Jenderal purnawirawan Bambang Darmono, kepala Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat (UP4B), sebagai anggota delegasi pemerintah menanggapi bahwa kebebasan berekspresi tidak mutlak.
Delegasi pemerintah menyatakan posisinya bahwa Filep Karma, Kimanus Wenda, dan tahanan lainnya sah dipenjara karena ekspresi mereka bertujuan untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Menurut delegasi, pemerintah Indonesia akan terus menghentikan ekspresi damai pandangan politik yang bertujuan memisahkan Papua dari Indonesia dengan cara tuntutan pidana. Delegasi melihat pembatasan kebebasan berekspresi diperlukan untuk mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah Indonesia.
Budi Tjahjono dari Fransiskan International khawatir bahwa ini menyiratkan sebuah perpanjangan dari pendekatan keamanan yang merugikan di Papua.
Editor : Yan Chrisna
Perayaan Natal di Palestina Masih Dibatasi Tahun Ini
GAZA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal di Palestina tahun ini hanya sebatas ritual keagamaan, mengin...