Ingin Akhiri Krisis Tunisia, Pemimpin Partai Islamis Ennahda Bersedia Referendum
TUNIS TUNISIA, SATUHARAPAN.COM – Partai Islamis yang berkuasa di Tunisia bersedia untuk referendum mengenai kelanjutan lembaga pemerintahan transisi. Pemimpin Ennahda mengatakan pada hari Senin (5/8), dia tetap berjuang atas upaya oposisi sekular menggulingkan pemerintah.
Rachid Ghannouchi mengatakan partai Ennahda terbuka untuk mendialogkan perubahan transisi politik Tunisia.
Tetapi dia menolak mempertimbangkan menghentikan Perdana Menteri atau membubarkan Majelis Konstituante sementara yang pada pekan ini belum menyelesaikan rancangan konstitusi dan undang-undang pemilihan.
“Jika mereka bersikeras mengakhiri proses transisi, kami katakan kepada mereka, datang, mari kita referendum. Mereka menuntut begitu tinggi dan sekarang mereka tidak bisa beranjak ke mana pun.” Kata Rachid Ghannouchi.
Tunisia menghadapi krisis politik terburuk sejak demonstran menggulingkan penguasa otoriter Zine el Abidine Ben Ali pada tahun 2011. Pemberontakan itu memicu gelombang pemberontakan Musim Semi Arab di seluruh wilayah.
Baik oposisi maupun Ennahda menunjukkan kesediaan posisi moderatnya, meski Rachid Ghannouchi mengatakan dia berharap jalan keluar dari kebuntuan akan segera datang.
Rachid Ghannouchi, 72 tahun, mengatakan dia terbuka untuk sebagian besar perubahan melalui perundingan tanpa prasyarat dengan oposisi. Bahkan, termasuk perundingan pemberlakuan hukum isolasi yang kontroversial guna memblokir mantan pejabat Zine el Abidine Ben Ali dari kehidupan politik dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.
Banyak kelompok oposisi sekuler menolak RUU sebagai ilegal dan juga mempersoalkan hal itu akan memperkuat posisi Ennahda di bidang politik.
“Membatalkan atau menundanya semua mungkin asalkan datang melalui dialog dengan semua blok di Majelis Konstituante, karena ada beberapa yang kembali hukum,” katanya.
Rachid Ghannouchi mengatakan dia bahkan bersedia untuk berunding dengan partai Nida Touns yang berhubungan dengan Zine el Abidine Ben Ali, dan mungkin untuk memasukkan partai itu dalam konsensus pemerintahan jika disetujui dalam pembicaraan dengan semua blok politik.
Tunisia pernah menjadi model demokrasi bagi negara-negara Arab transisional. Sekarang Tunisia semakin terbagi antara pendukung pemerintah yang dipimpin Ennahda dan pendukung oposisi sekular yang marah dengan dua pembunuhan barisan mereka dan berani karena kudeta militer Mesir atas presiden Islami yang terpilih.
Kekacauan ini juga datang pada saat militan Islamis meningkatkan serangan di seluruh negeri.
Rachid Ghannouchi menghabiskan 20 tahun dalam pengasingan di Inggris sebelum kembali dengan disambut bak pahlawan di Tunisia setelah penggulingan Zine el Abidine Ben Ali. Meskipun dia mengatakan terbuka untuk kompromi, dia memberikan pandangan tak kenal ampun atas gerakan aksi protes oposisi yang erkembang setiap hari.
"Mereka adalah kontra-revolusi ... Protes kami mendukung kemajuan gerakan transisi dan protes mereka ingin meledakkan transisi, "kata Rachid Ghannouchi.
Ennahda melakukan unjuk kekuatan akhir pekan lalu dengan lebih dari 100 ribu orang berkumpul di pusat Lapangan Kasbah pada hari Sabtu (3/8) dalam salah satu protes terbesar sejak revolusi 2011. Hal ini merubuhkan keyakinan Ennahda sebagai partai Islam moderat dalam menghadapi oposisi.
“Jalanan tidak dapat mengubah pemerintahan terpilih, hanya satu diktator ... Kami akan menerima koreksi jalur transisi, tetapi kami tidak akan menerima satu hal absurd dan nihilistik.”
Ennahda menuduh saingannya menawarkan alternatif di luar untuk mengganti pemerintahan dan majelis transisi.
Rachid Ghannouchi menegaskan Ennahda tidak akan menemui nasib sama seperti Islamis di Mesir. demonstrasi massa atas Presiden Mesir Mohammad Mursi yang menyebabkan tentara mendepak dan menahannya, serta menahan banyak pemimpin Ikhwanul Muslimin.
Rachid Ghannouchi bercanda, “Kami mengekspor revolusi kami ke Mesir, sekarang mereka (oposisi) ingin mengimpor kudeta. Tetapi oposisi Mesir harus menunggu empat tahun untuk perubahan, sedangkan di sini mereka hanya harus menunggu beberapa bulan.”
Oposisi Tunisia sering menyalahkan Ennahda berperan dalam serangan militan Islam seperti pembunuhan dua pemimpin politik kiri dalam dua bulan terakhir. Ibukota Tunis dihantam dua bom dalam dua minggu terakhir. Senin lalu, militan Islamis menewaskan delapan tentara di salah satu serangan paling mematikan terhadap pasukan Tunisia dalam beberapa dasawarsa.
Paling-paling, mereka berpendapat, Ennahda awalnya terlalu lunak terhadap kelompok Salafi yang pernah berharap merayu untuk bergabung dengan blok politiknya. Kelompok paling garis keras menolak sikap moderat Ennahda.
Rachid Ghannouchi membantah kritik mereka dan serangan baru-baru ini dikutuk di Tunisia. Tetapi dia berpendapat insiden memungkinkan kerja musuh Ennahda menarik kekhawatiran Salafi radikal.
“Kelompok ini (militan) telah disusupi unsur politik dari dalam negeri untuk memukul Ennahda dan kemajuan demokrasi, orang yang menggunakannya kurang pengalaman hidup atau budaya keagamaan,” katanya. “Ada kelompok yang mendapatkan manfaat dari hancurnya legitimasi.”
Editor : Yan Chrisna
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...