Integritas Mahal Harganya

SATUHARAPAN.COM – Saya terkejut ketika mendapat SMS dari seorang mitra kerja yang minta dibuatkan surat keterangan penghasilan untuk keperluan aplikasi kartu kredit.  Saya mengabaikannya karena yang dia minta tidak sesuai dengan penghasilan sebenarnya, walau saya tahu keluarganya cukup mampu untuk membayar semua tagihannya kelak. Beberapa hari kemudian, lewat orang berbeda, dia meminta saya untuk memberikan surat sesuai yang dia mau, dan saya menjawab, ”Saya tidak bisa.”

Saat itu semua terhenyak mendengar jawaban saya.  Kami sudah saling mengenal lebih dari 10 tahun dalam bidang pekerjaan ini, dan cukup dekat dengan keluarganya.   Saya menjawab, ”Ini namanya penipuan.”  Lalu yang lain berkata, ”Ini kan sudah biasa.  Kita harus cerdik seperti ular, lagipula surat keterangan itu hanya formalitas belaka, kita semua tahu dia orang kaya.”   Lalu mulailah mereka satu per satu membahas masalah ini, sampai seorang teman menengahi kami: ”Semuanya betul, hanya berbeda dalam persepsi tentang apa itu jujur.” 

Saya tidak mengerti mengapa jujur bisa diartikan secara berbeda.  Apakah kejujuran hanya diperlukan dalam pergaulan dengan sesama kita? Tetapi, yang menyangkut soal ”dunia” kita harus bisa ”cerdik seperti ular” dan fleksibel?

Setelah perdebatan terbuka itu, semua memandang saya sebagai orang yang kaku, tidak fleksibel. Walaupun akhirnya surat keterangan itu ditandatangani oleh orang lain, saya tetap mengatakan tidak setuju.  Bagaimana saya mengajarkan anak-anak saya untuk berkata jujur, sedangkan saya melakukan penipuan dengan kedok ”formalitas”?

Pada akhirnya hubungan kami menjadi retak.  Semua menyalahkan saya: ”hanya karena nila setitik rusak susu sebelanga.” Hanya karena saya tidak mau menandatangi surat yang dikatakan sebagai formalitas, saya menanggung akibat kehilangan salah seorang mitra kerja yang selama ini sudah berjasa bagi kami.  Ternyata integritas itu mahal harganya.

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com