Intervensi ke Suriah Dibayangi Keberadaan Kelompok Ekstremis
WASHINGTON, SATUHARAPAN.COM – Sebuah alih kekuasaan oleh kelompok pemberontak terhadap Presiden Suriah Bashar Al-Assad bisa meningkatkan pengaruh kelompok Al-Qaeda, dan mengubah Suriah menjadi tempat yang aman bagi teroris. Demikian dikatakan seorang mantan pejabat senior intelijen Amerika Serikat.
"Saya khawatir pecahnya Suriah, runtuhnya pemerintahan, dan perang sektarian memberi kesempatan bagi Al-Qaeda tempat yang aman seperti safe haven yang pernah dinikmati di Afghanistan," kata Mike Morell, mantan Wakil Direktur Badan Intelijen Pusat AS (CIA) dalam sebuah wawancara yang disiarkan Minggu (15/9) pada jaringan televise CBS.
Masalah Suriah menjadi makin pelik. Tim penyelidik Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menyampaikan temuannya bahwa senjata kimia berupa gas sarin telah digunakan dalam konflik bersenjata di sana. Namun sejauh ini belum ada kejelasan siapa yang menggunakan; pemerintah atau kelompok oposisi.
Di pihak oposisi sendiri diketahui banyak faksi, dan di sana diwarnai oleh konflik sektarian yang keras, serta di antaranya adalah kelompok yang oleh PBB dimasukkan dalam organisasi terkait tindakan terorisme.
Situasi ini telah diperingatkan kepada AS oleh Rusia. Pihak AS sendiri telah mengakui bahwa ada pengaruh Al-Qaeda di antara pemberontak Suriah. Washington yang berencana membantu oposisi akan merancang dukungannya dengan menyeleksi kelompok ekstrimis dan memberdayakan unsur-unsur moderat di pihak oposisi.
Bantuan Terseleksi
Gedung Putih pada hari Senin (16/9) kemarin mengatakan bahwa pihaknya telah resmi pengiriman persediaan dan peralatan untuk oposisi Suriah, membantu mereka dalam pertahanan terhadap penggunaan senjata kimia.
Presiden AS, Barack Obama, disebutkan dibebaskan dari pembatasan oleh Undang-undang Pengendalian Ekspor Senjata AS. Hal ini memungkinkan AS pengiriman persenjataan bagi oposisi Suriah. Namun pihak Gedung Putih menyebutkan akan melakukan seleksi dan memeriksa anggota oposisi yang akan menerima bantuan.
Bantuan itu akan meliputi peralatan untuk melindungi diri dari senjata kimia dan pelatihan untuk mencegah terhadap penyebaran senjata kimia, kata juru bicara bidang Keamanan Nasional Gedung Putih, Caitlin Hayden.
Tekanan untuk Negosiasi
Morell mengatakan, pemerintahan Presiden AS, Barack Obama, menghadapi tindakan penyeimbangan yang sulit. Menurut dia, upaya memperkuat pemberontak Suriah cukup untuk menekan Assad bersedia ke meja perundingan. Dan sebaiknya tidak menuju titik di mana oposisi merasa tidak harus bernegosiasi untuk penyelesaian politik.
"Hasil terbaik adalah penyelesaian yang dinegosiasikan antara oposisi dan antara rezim yang memungkinkan untuk transisi politik yang membuat lembaga-lembaga negara utuh," kata Morell.
Menjaga agar layanan keamanan Suriah kembali utuh dalam transisi militer dan akan sangat penting untuk mencegah dan memerangi Al-Qaeda di negara itu, kata dia menambahkan. "Dan setiap hari yang berlalu, setiap hari yang berlalu, lembaga-lembaga tersebut terus terkikis," kata Morell.
Tentang Senjata Kimia
Mengenai senjata kimia, hasil temuan Tim PBB telah menunjukkan secara meyakinkan bahwa senjata kimia jenis sarin telah digunakan di Suriah, terutama pada kasus 21 Agustus yang menwaskan ratusan orang di kawasan pinggiran Damaskus, ibu kota Suriah.
Sekjen PBB, Ban Ki-moon mengatakan bahwa hal itu membuktikan telah terjadi kejahatan perang yang serius, dan pelakunya harus dipastikan bertanggung jawab. Namun sejauh ini belum ada keterangan pihak mana yang menggunakan.
"Hasilnya luar biasa dan tidak terbantahkan. Fakta berbicara sendiri. Misi PBB kini telah dikonfirmasi, tegas dan objektif bahwa senjata kimia telah digunakan di Suriah," kata Ban. Disebutkan bahwa 85 persen dari sampel darah dari situs di Ghouta diuji dan hasilnya positif mengandung Sarin, dan sebagian besar fragmen roket juga ditemukan menunjukkan membawa bahan kimia gas saraf yang mematikan.
"Harus ada pertanggungjawaban atas penggunaan senjata kimia Setiap penggunaan senjata kimia oleh siapapun, di manapun, adalah kejahatan. Tapi pesan kami hari ini harus lebih dari ‘Jangan pembantaian rakyat Anda dengan gas. Juga jangan ada kekebalan hukum bagi kejahatan ini…,” kata dia.
Menurut Ban, insiden itu menandai penggunaan senjata kimia paling serius sejak serangan oleh Presiden Irak, Saddam Hussein, pada wilayah Halabja, dan merupakan penggunaan senjata pemusnah massal terburuk di abad 21.
Proses Penelitian
Ban Ki-moon yang berbicara dengan ketua tim, Profesor Ake Sellstrom, mengatakan bahwa tim mewawancarai lebih dari 50 korban, tenaga medis dan responden pertama. Hal itu dilakukan dengan menerapkan proses seleksi yang ketat dan objektif yang dirancang untuk mengidentifikasi korban yang mungkin telah terkena bahan kimia.
Hal itu dilakukan untuk menilai gejala individu dan sampel biomedis yang dikumpulkan, termasuk dari rambut, urin dan darah.
Kerja tim ini juga didokumentasikan dan sampel, serta situs yang terkena dampak, serta amunisi. Tim mengumpulkan 30 sampel tanah dan benda-benda dari lingkungan insiden. Hal ini dilakukan jauh lebih baik dari penyelidikan PBB sebelumnya.
Laporan dari korban menawarkan informasi jelas tentang peristiwa 21 Agustus. Korban melaporkan bahwa setelah serangan dengan penembakan, mereka dengan cepat mengalami berbagai gejala, termasuk sesak napas, disorientasi, iritasi mata, penglihatan kabur, mual muntah dan kelemahan umum. Hal itu merupakan gejala akibat serangan gas beracun.
"Banyak yang akhirnya kehilangan kesadaran. Responden pertama menjelsakan bahwa mereka melihat sejumlah besar individu tergeletak di tanah, banyak dari mereka mati atau tidak sadar," kata Ban tentang isi laporan tersebut. (un.org / ria.ru)
Editor : Sabar Subekti
Bertemu PM Pakistan, Prabowo Bahas Peningkatan Kerja Sama Ek...
KAIRO, SATUHARAPAN.COM-Presiden Prabowo Subianto melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menter...