Intimidasi Warnai Kampanye Pemilihan Presiden Sri Lanka
KOLOMBO, SATUHARAPAN.COM – Kelompok pemantau lokal pemilihan umum (pemilu) presiden di Sri Lanka telah melaporkan berbagai tindak kekerasan, seperti intimidasi dan ancaman terkait selama kampanye.
Kampanye sebelumnya telah berlangsung selama sebulan dan ditutup pada Senin (5/1).
Pusat Monitoring Kekerasan Pemilu (CMEV) mendata setidaknya terdapat 237 insiden besar dan 183 insiden kecil selama kampanye. Pihak monitoring juga melaporkan dimungkinkan terdapat sebanyak 22 serangan senjata api saat kampanye berlangsung.
Mereka juga mendokumentasikan penyalahgunaan tayangan media pemerintah Sri Lanka, Freedom Party.
Untuk itu, organisasi HAM dunia (Human Right Watch/HRW) menyatakan pihak berwenang di Sri Lanka harus memastikan masyarakat memiliki akses yang aman ke tempat pemungutan suara untuk melakukan pemilihan suara presiden pada Kamis (8/1) mendatang.
“Pihak berwenang Sri Lanka perlu mengambil berbagai langkah untuk memastikan pemilih, kandidat, dan monitor tidak diserang, terancam, atau diintimidasi,” kata Brad Adams, direktur HRW wilayah Asia.
“Serangan-serangan dan intimidasi yang merusak kampanye tidak dapat dibiarkan terus pada hari pemilihan dan selama proses penghitungan,” dia menambahkan.
Sebelumnya, Senin lalu (5/1), orang-orang bersenjata tak dikenal telah melukai tiga anggota oposisi Partai Persatuan Nasional di distrik Ratnapura. Sejak itu, calon presiden oposisi, Maithripala Sirisena berlindung di balik kaca tahan peluru dan dengan pengawasan serta keamanan yang ditingkatkan. Pada Minggu (4/1), dua petugas pemilu diserang di Trincomalee setelah mereka menutup kantor yang tidak sah milik partai yang berkuasa.
Meskipun dua tersangka ditangkap dalam kaitannya dengan serangan, mereka dibebaskan tak lama setelah intervensi oleh Wakil Menteri Susantha Punchinilame. Pihak berwenang di beberapa kasus telah menangkap mereka yang dianggap bertanggung jawab atas serangan terkait Pemilu. Pengadilan mengeluarkan beberapa perintah untuk menangkap tersangka.
“Sri Lanka memiliki sejarah panjang terkait pemilu, dan beberapa penangkapan pada malam hari sebelum pemilihan, sementara langkah positif yang diambil tidak mengatasi masalah lama,” kata Adams.
CMEV juga melaporkan penyalahgunaan media oleh partai yang berkuasa. Pihak monitoring melaporkan, media pemerintah secara terbuka meminta orang untuk memilih Presiden Mahinda Rajapaksa.
“Peran yang dimainkan oleh pasukan keamanan selama dan setelah hari pemilihan penting bagi masa depan hak asasi manusia di Sri Lanka,” kata Adams.
Militer Diduga Pengaruhi Pilpres
Sementara itu, Pusat Pemantauan Kekerasan Pemilu menyatakan kekhawatirannya terhadap dampak buruk pengerahan pasukan keamanan terhadap pemungutan suara, khususnya di utara.
Militer Sri Lanka telah dituduh mengintimidasi pemilih oposisi dalam pemilu sebelumnya, serta berkampanye untuk Presiden Mahinda Rajapaksa.
Mahinda Rajapaksa telah memenangkan dua pemilu sebelumnya dengan popularitas mengakhiri perang saudara 25 tahun, setelah militer mengalahkan pemberontak Macan Tamil yang ingin mendirikan sebuah negara Tamil di utara dan timur pulau itu.
Etnis Tamil tergolong minoritas di Sri Lanka secara keseluruhan, tapi mayoritas di bekas zona perang di utara.
Rajapaksa dan calon oposisi Maithripala Sirisena berasal dari etnis mayoritas Sinhala.
Rajapaksa menghadapi tantangan pemilu terbesar dalam pemberontakan yang dipimpin oleh Sirisena, mantan menteri kesehatannya. (hrw.org/VOA)
Editor : Bayu Probo
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...