OPINI
Penulis: Trisno S Sutanto
17:56 WIB | Minggu, 30 Juni 2013
Invictus dan Politik Pengampunan
Untuk Mandela SATUHARAPAN.COM - Entah berapa kali saya menonton Invictus, film garapan Clint Eastwood yang dirilis Desember 2009. Dan sekalipun saya bukan penggemar rugby -- bahkan tak pernah menonton langsung pertandingannya -- saya tetap terpesona pada film itu. Padahal film itu bercerita tentang François Pienaar, kapten rugby dari Afrika Selatan, yang diperankan Matt Damon. Di tangan Pienaar, klub rugby Afrika Selatan, Springbooks, menyabet Piala Dunia pada tahun 1995 dan memberi pada negara yang baru 5 tahun lepas dari sistem Apartheid itu hadiah terbesar: perasaan sebagai "satu bangsa". Tetapi bukan soal Pienaar dan olahraga rugby yang memesona saya, melainkan tokoh di balik semua itu: Nelson Rolihlahla Mandela. Ia adalah arsitek dari seluruh peristiwa yang dikisahkan Invictus. Sebab film itu didasarkan pada kisah nyata, yang cerita aslinya ditulis John Carlin, seorang wartawan yang dekat dengan Mandela, dan berjudul Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game that Made a Nation (Penguin, 2008). Politik Pengampunan Ada adegan di film itu yang tertanam di ingatan saya. Ketika Mandela tahu bahwa negaranya akan menjadi tuan rumah Piala Dunia Rugby tahun 1995, ia berusaha mendesak komite olahraga nasional (semuanya berkulit hitam) agar memakai tim nasional Springbooks (hampir seluruhnya berkulit putih) sebagai wakil mereka. Padahal Mandela tahu, Springbooks dibenci masyarakat karena dianggap mewakili sistem Apartheid. Komite itu menolak usul Mandela. Namun ia tetap bersikukuh, dan bahkan rela mempertaruhkan seluruh reputasi maupun jabatan politiknya sebagai presiden. Dan ia berhasil. Ketika sekretarisnya bertanya mengapa ia begitu kukuh, Mandela menjawab sederhana: sebab rugby bukan sekadar olahraga, melainkan politik. Dan politik bagi Mandela adalah "politik pengampunan". Sebab yang dipertaruhkan Mandela sebenarnya bukan hanya nasib klub Springbooks atau ambisi untuk menyabet Piala Dunia. Baginya, nasib klub legendaris tersebut bertaut erat dengan nasib bangsa yang dipimpinnya. Kebencian masyarakat (kulit hitam) pada Springbooks adalah dendam kesumat pada sistem Apartheid yang selama puluhan tahun membangun tembok pemisah berdasarkan warna kulit. Karena itu, Mandela sengaja mengundang Pienaar ke istana, dan meminta klub Springbooks yang dipimpinnya berkeliling Afrika Selatan, bertemu dan bergaul dengan masyarakat kulit hitam, menenun kembali ikatan bangsa yang tercabik-cabik oleh pembedaan warna kulit. Film Invictus mengisahkan proses berliku itu dengan sangat bagus: Pienaar yang, belajar dari Mandela, menemukan Afrika Selatan dan masyarakatnya sebagai tanah air dan bangsanya sendiri. Dan ajang Piala Dunia Rugby 1995 pun menjadi ajang "penemuan sebuah bangsa". Menenun Bangsa Majemuk Tentu saja, Invictus bukan film biografi Mandela. Namun, dengan caranya sendiri, Invictus menyodorkan figur Mandela (diperankan oleh Morgan Freeman) dan "politik pengampunan" yang mencengangkan dunia. Saya sengaja memakai dua kata yang kerap dipertentangkan itu dalam satu tarikan nafas. "Politik" memang cenderung dipahami sebagai cerminan nafsu paling gelap manusia: bagaimana merebut dan sekaligus mempertahankan kekuasaan. Sementara "pengampunan" justru sebaliknya: suatu aspirasi yang sangat luhur dan kerap jadi tema khotbah agama-agama. Boleh jadi karena sangat luhur, aspirasi itu justru jarang dipraktikkan. Tetapi bagi Mandela keduanya menyatu. Ia sadar tantangan fundamental yang harus dihadapinya sebagai Presiden Afrika Selatan pasca-Apartheid: kebencian antar-ras yang ditanamkan oleh sistem itu dapat, dalam seketika, menghancurkan bangsanya dan menjerumuskan mereka ke dalam lingkaran setan balas-dendam. Itu sebabnya ia melakukan langkah yang paling mencengangkan. Saat disumpah sebagai Presiden di Pretoria, 10 Mei 1994, Mandela yang mendekam 27 tahun di penjara justru menyediakan satu kursi untuk tamu spesial yang ia undang: mantan sipir penjara Pulau Robben. Di penjara itu, Mandela (tahanan no 46664) menghabiskan 18 tahun hidupnya untuk kerja paksa. Kepada para wartawan yang bertanya tentang masa depan Afrika Selatan, Mandela menjawab lugas: "There is no future in hate." Tindakan simbolis Mandela itu punya resonansi sangat kuat. Setahun kemudian, Mandela melakukan langkah serupa: meminta François Pienaar memimpin Springbooks dalam Piala Dunia Rugby. Afrika Selatan berhasil memenangi kejuaraan itu, dan Mandela berhasil menenun ulang bangsa yang majemuk, rainbow nation, lewat politik pengampunannya. Pada diri Mandela, bukan hanya penduduk Afrika Selatan, tetapi umat manusia di seluruh dunia, kembali menemukan harapan bahwa pengampunan memang masih mungkin, dan kebencian serta dendam kesumat memang dapat diatasi. Itu sebabnya hari-hari ini semua orang mendoakan Mandela... Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI
BERITA TERKAIT
KABAR TERBARU
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...