Loading...
SAINS
Penulis: Sotyati 15:00 WIB | Rabu, 04 Desember 2013

Iptek Solusi untuk Atasi Problem Pangan

Konversi lahan persawahan ke permukiman yang tak tertahankan berdampak pada syok pangan. (Foto: antarafoto)

NUSA DUA, SATUHARAPAN.COM – Lebih dari 800 juta penduduk dunia tidak memiliki kecukupan pangan. Lebih kurang 500 juta di antaranya, tinggal di Asia, termasuk di Indonesia.

 Masalah pangan yang sudah menjadi problem serius dunia itu dikemukakan Dr Akmadi Abbas,  Sekretaris Utama LIPI, ketika membuka simposium internasional The 5th ASIAHORCs (Head of Research Councils in Asia) dan The 7th ASIAHORCs General Meeting yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Nusa Dua Bali, penggal akhir November lalu.

Problematika yang buruk itu perlu segera diselesaikan, mengingat mendekati pertengahan abad ini populasi dunia diperkirakan mencapai 10 miliar orang, pada sisi lain produksi pangan hanya akan mampu memberi makan tujuh miliar orang. “Lalu, bagaimana kita memberi makan sisa tiga miliar orang lainnya?” Akmadi Abbas menegaskan, seperti bisa dibaca dalam siaran pers Humas LIPI.

Siswono Yudho Husodo, anggota Dewan Pembina Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang menjadi pembicara kunci dalam simposium, lebih khusus menyoroti keadaan negeri ini. Ia mengingatkan kondisi pertanian dan pangan Indonesia dihantui pengurangan lahan terus menerus.

Konversi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan dan industri, tidak dapat dihindari karena memang menjadi kebutuhan. Namun, untuk Indonesia, pemanfaatan itu tidak seimbang. “Contohnya, Pulau Jawa masih menjadi tumpuan produksi pertanian kendati lahan berkurang. Sementara, wilayah luar Jawa seperti Papua pemanfaatannya masih kurang sekali, hanya 700 ribu hektare atau 1,5 persen saja yang dipakai untuk lahan budi daya pertanian,” ia menggambarkan.

 

Perkembangan Teknologi

Ilmu pengetahuan menjadi solusi penting atas persoalan itu kata Akmadi. LIPI, melalui berbagai risetnya, juga menciptakan teknologi untuk meningkatkan produksi pangan, begitu pula kualitas gizinya.

Pendapat yang hampir sama dikemukakan Siswono. Walau krisis pangan global telah terjadi berkali-kali, sentuhan iptek pada akhirnya mampu mengatasinya.

Peningkatan produksi pangan merupakan keharusan untuk Indonesia. Fakta menunjukkan sebagian besar masyarakat Indonesia, yakni 60 persen dari total penduduk, rata-rata menggunakan 40 persen pendapatannya untuk kebutuhan pangan.  “Sementara, konsumsi per kapita masyarakat Indonesia masih rendah karena kemiskinan, apabila harga pangan dunia naik. Maka beban masyarakat akan berat dan mereka tidak lagi mampu mengkonsumsi pangan yang baik atau bergizi,” ujar Siswono.

Karena itu Indonesia harus mengembangkan potensi pangannya dengan pendekatan iptek.  Iptek telah membawa perubahan cara bertani dari zaman ke zaman. Artinya, Indonesia sekarang harus lebih mengembangkan pertanian pangannya sesuai perkembangan teknologi, misalnya memakai sistem irigasi lebih modern, mengaplikasikan benih transgenik dan teknologi transfer embrio, serta menggunakan bibit unggul maupun hibrida. “Langkah itu ditempuh  guna menaikkan produksi pangan dengan kualitas gizi baik untuk kesejahteraan masyarakat,” ia menegaskan.

Simposium diikuti ilmuwan, akademisi, praktisi, pengambil kebijakan dari negara-negara anggota ASIAHORCs, yakni China, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home