Islamis Tunisia Terancam Pasca Pembunuhan Oposisi Sayap Kiri
TUNISIA, SATUHARAPAN.COM - Pemakaman Mohammad al Brahimi pada hari Sabtu (27/7) menarik ribuan orang. Banyak nyanyian berslogankan anti Ennahda. Mereka menuduh Ennahda gagal mengendalikan kelompok-kelompok Islam garis keras.
Pembunuhan pemimpin oposisi Tunisia sayap kiri Mohammad al Brahimi menekan kabinet yang dipimpin Ennahda. Gerakan oposisi untuk menciptakan pasca kedua Musim Semi Arab kejatuhan pemerintahan Islam makin menguat. Seperti dilansir dari situs al Arabiya.
Ennahda dan mitranya, Congrès pour la République (CPR, Kongres untuk Republik) dan Ettakatol, berhasil bertahan dari hantaman badai politik yang diakibatkan pembunuhan pemimpin oposisi sekular Chokri Belaid pada tanggal 6 Februari 2013 sebelumnya.
Setelah pembunuhan Chokri Belaid, Perdana Menteri Hamadi Jebali mengundurkan diri dan kabinet baru cepat dibentuk. Langkah ini ditambah dengan jaminan untuk menghadapi militan Islam dalam tempo singkat saja.
Namun masalah kesinambungan ekonomi dan penggulingan kekuasaan Ikhwanul Muslimin di Mesir menguatkan krisis yang terjadi di Tunisia. Pembunuhan Brahimi pada Kamis lalu menghidupkan kembali peristiwa jalanan atas Ennahda.
Pada hari Jum’at (26/7), pemogokan umum memacetkan negara. Partai sekuler membentuk Front Keselamatan Nasional, mendesak pembangkangan sipil, dan mengorganisir aksi duduk-duduk di luar majelis nasional. Mereka menuntut pembubaran majelis nasional dan pemerintah.
"Pembunuhan Mohammad al Brahimi menciptakan gempa politik yang tidak akan berlalu dengan damai saat ini," kata Alaya Allani, seorang analis politik Tunisia.
Allani mengatakan partai Ennahda Islam, yang mempunyai 87 kursi dari 217 anggota majelis konstituante telah membuat kesalahan besar dan telah gagal menjamin keamanan setelah pembunuhan Chokri Belaid sebelumnya.
Jomai Gasmi, analis politik lainnya, berpendapat bahwa setelah pembunuhan Chokri Belaid pada bulan Februari, Ennahda berhasil menenangkan kemarahan rakyat dengan pengunduran diri Perdana Menteri.
"Hari ini Ennahda menemukan dirinya dalam situasi yang sangat memalukan karena sebagian besar kekuatan politik maju bersama-sama dalam Front Keselamatan Nasional menyerukan jatuhnya pemerintahan ini dan majelis nasional," kata Jomai Gasmi.
"Sekarang Ennahda harus memenuhi tuntutan kekuatan-kekuatan politik dan itu tidak akan terjadi tanpa eskalasi di jalan. Saat ini ada aksi di jalan tetapi itu tidak cukup berdampak ke partai Ennahda."
Jomai Gasmi mengatakan gerakan anti Ennahda tumbuh dan akan mencapai puncaknya pada bulan September ketika pelajar kembali ke sekolah dan beraktifitas secara politik.
Menteri Dalam Negeri Lotfi Ben Jeddou mengatakan Mohammad al Brahimi ditembak 14 kali menggunakan pistol 9mm semi-otomatis yang juga digunakan untuk membunuh Chokri Belaid pada bulan Februari. Lotfi Ben Jeddou menyatakan Jihadi Salafis Boubakr Hakim yang berusia 30 tahun merupakan tersangka utama.
Hisham Abboud, kepala editor surat kabar al Jarida mengatakan skenario penggulingan Ikhwanul Muslimin di Mesir tidak mungkin terulang kembali di Tunisia karena Ennahda tidak mengesampingkan negara begitu saja.
Bersama kelompok sekuler CPR dan pihak Ettakatol, Ennahda mendominasi majelis konstituante dan menyapu dukungan publik.
Sosiolog Tunisia Mohamed Jouili, tidak mengesampingkan jatuh Ennahda dari tahtanya. Dia mengatakan pemerintahan terus ada tergantung pada kemampuannya untuk membuat konsesi besar dan membawa para pembunuh Chokri Belaid dan Mohammad al Brahimi ke pengadilan.
“Jika pemerintah tidak jatuh dalam beberapa hari ke depan tidak mungkin jatuh di bulan depan atau pada bulan September," kata Mohamed Jouili.
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...