Israel Tahan Uang Pajak, Otoritas Palestina Mau Bangkrut
WASHINGTON, SATUHARAPAN.COM – Amerika Serikat (AS) pada Kamis (19/02/2015) menyampaikan kekhawatiran bahwa Otoritas Palestina (Palestinian Authority atau PA) di ambang kebangkrutan karena kekurangan dana, saat Israel menahan uang pajak dan terhentinya bantuan dari pihak penyumbang.
Washington melakukan pembicaraan darurat dengan para pemimpin regional serta para pemangku kepentingan lainnya dalam proses perdamaian Timur Tengah yang terhenti sebagai upaya untuk mengalirkan lebih banyak bantuan dana.
“Itu benar bahwa kami sangat mengkhawatirkan tentang keberlangsungan pemerintahan Otoritas Palestina jika mereka tidak segera mendapatkan bantuan dana,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Jen Psaki kepada wartawan.
Bantuan-bantuan dana semacam itu akan meliputi kelanjutan transfer bulanan pendapatan pajak Palestina dari Israel, atau bantuan tambahan dari pihak penyumbang, katanya.
Pada Januari, Israel menahan pendapatan pajak sebesar 127 juta dolar Amerika (sekitar Rp 1,63 triliun) yang seharusnya ditransfer kepada Otoritas Palestina sebagai hukuman karena pemerintahan itu bergabung dengan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court atau ICC).
Keanggotaan Palestina di ICC, yang akan berlaku pada 1 April, diperkirakan menjadi wadah bagi potensi gugatan hukum terhadap berbagai dugaan kejahatan perang yang dilakukan Israel, sebuah tindakan yang membuat murka negara Yahudi itu.
Namun perekonomian Palestina juga terpukul akibat pelambatan bantuan dana, saat pihak-pihak penyumbang gagal memberikan dana sebesar 5,4 miliar dolar Amerika (sekitar Rp 69,63 triliun) seperti yang dijanjikan di konferensi Kairo pada Oktober untuk membantu membangun kembali wilayah Gaza akibat perang selama 50 hari pada tahun lalu.
Otoritas Palestina Digugat Warga AS
Pengacara untuk Otoritas Palestina (Palestinian Authority atau PA) pada Kamis (19/02/2015) mengatakan pihaknya tidak harus bertanggung jawab atas serangan “di luar nalar dan mengerikan” yang dilakukan di Israel, saat pihaknya menghadapi gugatan hukum yang mengupayakan kompensasi miliaran dolar Amerika untuk para korban.
Para korban asal Amerika Serikat dan kerabatnya mengajukan gugatan di pengadilan federal New York terhadap PA dan Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization atau PLO).
Enam serangan terjadi antara 2001 hingga 2004, menewaskan 33 orang dan melukai lebih dari 390 korban lainnya, termasuk anggota dari 11 keluarga penggugat.
“Itu bukan hal yang tepat untuk menggugat pemerintah agar bertanggung jawab atas beberapa orang yang melakukan hal-hal di luar nalar dan mengerikan,” kata jaksa pembela Mark Rochon dalam argumen penutupnya.
“Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pemimpin senior PA atau PLO terlibat dalam perencanaan atau menyetujui aksi kekerasan tertentu.”
Para pelaku menyerang korbannya “karena alasan pribadi,” ia menambahkan, mengeluhkan tentang “pernyataan penggugat yang berlebihan untuk membuat citra PA terlihat buruk,” sebagian didasarkan pada intelijen Israel.
Para penggugat mendesak agar PA dan PLO bertanggung jawab karena mendukung serangan yang dilancarkan para anggota Hamas dan Brigade Martir Al-Aqsa (Al-Aqsa Martyr), beberapa di antaranya juga merupakan lembaga yang dibayar pemerintah. (AFP)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...