Jangan Marah, Ibu!
SATUHARAPAN.COM Ibu, apakah Engkau marah? Hari ini adikku mengatakan bahwa daun-daun pepohonan di depan rumahnya memutih, ada debu di atasnya . Perjalanan debu yang sekian jauh melintasi Jawa, seakan menyapa dan mengingatkan kami akan keberadaanmu yang tidak kami pedulikan sebelumnya.
Apakah Engkau murka? Sepertinya baru saja kami disapa banjir, air tiba-tiba menggenangi rumah dan jalanan. Dan kami sibuk menudingkan tangan, siapa yang bersalah. Aku jadi teringat akan piring yang pecah, kedua anakku saling menyalahkan siapa yang terlebih dahulu menyenggolnya. Rasanya kami pun tak beda dengan mereka.
Dan sekarang kami semua terhenyak, Ibu. Kami tidak tahu harus menunjukkan tangan kepada siapa atas letusan bumi yang menghamburkan debu, pasir, batu, dan lava. Apakah kali ini engkau benar-benar marah?
Baru saja aku membaca bahwa harga coklat dunia ditentukan oleh negara yang tidak memiliki satu pohon coklat pun. Ironis sekali, ketika Ibu menunjukkan betapa suburnya pertiwi ini, kami semua lalai. Kami yang memiliki ilmu untuk bercocok tanam, beternak, membudidayakan hasil laut dengan baik, tetapi kami lebih suka dengan gemerlapnya bintang-bintang. Kami lebih suka mengubur pengetahuan kami dan menimba ilmu baru di bidang lain, mengatasnamakan tuntutan hidup.
Jangan marah, Ibu! Kadang kami lupa akan PR-PR kami terhadap bumi. Begitu banyak agenda dalam kehidupan ini. Sebentar lagi kami akan memasuki masa-masa yang menentukan negara. Bagaimana kami memilih wakil-wakil kami yang sekarang semuanya tampak baik, tulus, berwibawa, dan cinta rakyat. Semua calon menjanjikan hal-hal yang indah, Ibu. Semua mengatakan STOP KORUPSI, sama seperti lima tahun lalu, walaupun kenyataannya setelah terpilih mereka suka lupa akan apa yang dikatakannya. Bukankah manusia memang makhluk pelupa?
Jangan marah, Ibu! Kalau sebentar kami pun akan menyelenggarakan ujian negara yang setiap tahun selalu kontroversial. Tuntutan untuk memberikan standar pendidikan yang baik kadang bias dengan bisnis pengadaaan ujian itu. Mencerdaskan kehidupan bangsa membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Harga kertas sekarang mahal, belum lagi untuk percetakan, transportasi, distribusi, dan jasa keamanan.
Ibu, jangan marah! Kami tahu sapaanmu melalui debu yang terbawa angin, menunjukkan engkau melihat, engkau memerhatikan. Ajari kami agar lebih bijak dan hormat pada bumi ini!
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Victor Wembanyama Buat Rekor Langka di NBA
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Victor Wembanyama kembali mencuri perhatian dunia basket dengan mencatatk...