Jaringan Advokasi Tambang: Pemerintah Bertanggungjawab Atas Kebakaran Lahan dan Hutan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Juru Bicara (Jubir) Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Haris Balubun menjelaskan bahwa lahan gambut hutan tropis tidak mudah terbakar, kecuali dilakukan pembakaran lahan dan alih fungsi lahan secara massal. Dia mengatakan bahwa pemerintah harus bertanggungjawab atas percepatan terjadinya perubahan iklim yang disebabkan aktivitas industri secara masif.
"Contoh yang sudah terjadi kemarin itu adalah asap, asap itu kan sudah jelas, sudah memperlihatkan. Tetapi yang harus diketahui masyarakat adalah bahwa di lahan gambut ini tidak ada sejarahnya hutan tropis itu mudah terbakar, kalau tidak terjadi pembakaran lahan dan alih fungsi lahan," kata Jubir JATAM kepada satuharapan.com, pada Senin (29/7) di depan Kantor Badan Pengusahaan Batam (BP BATAM) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), di Jakarta Timur, saat aksi menggugat pemerintah atas daya rusak perubahan iklim akibat aktivitas tambang yang terjadi di Samarinda.
Selain itu, dia mengatakan bahwa alih fungsi lahan gambut untuk perkebunan skala besar dengan cara pembakaran telah berkontribusi besar bagi meningkatnya Gas Rumah Kaca. "Pada dasarnya, tambang batubara, yang lain menyusul untuk kelapa sawit kita akan melakukan gugatan yang sama, alih fungsi lahan gambut, menjadi HTI (Hutan Tanaman Industri). Dalam waktu dekat kami akan melakukan hal sama di Jakarta."
"Di sini tuntutan kami ada dua, yaitu perubahan iklim, karena tambang, batubara, dan alih fungsi lahan gambut pada HTI. Advokasi ini terus ke depan, kita akan terus, kita ingin menyampaikan kepada masyarakat bahwa ada hak-hak yang tidak terpenuhi," kata Jubir JATAM yang ikut demonstrasi damai.
Haris Balubun juga mengatakan, bahwa aksi mereka di Jakarta dilakukan bersamaan dengan Sidang Pertama Gugatan Dampak Perubahan Iklim yang dilayangkan Gerakan Dua Derajat ke Pengadilan Negeri Samarinda, Kalimantan Timur. Hari ini, Senin (29/7) Gerakan Dua Derajat bersama masyarakat Samarinda menggugat lima pihak tergugat, di antaranya: Kementerian Lingkungan Hidup RI, Kementerian ESDM RI, Gubernur Kalimantan Timur, Walikota Samarinda, dan DPRD Tingkat II Kalimantan Timur.
"Di sana itu (Kalimantan), yang menjadi persoalannya itu adalah telah ditinggalkannya lubang-lubang tambang. Itulah yang menyebabkan masyarakat bersepakat melakukan gugatan," kata Haris Balubun.
Selanjutnya, Jubir JATAM membeberkan fakta korban meninggal sebanyak sembilan orang anak-anak dari penduduk sekitar bekas tambang, akibat dari kolam tambang yang tidak direklamasi (ditutup). "Jarak tambang kurang lebih 30-50 meter dari rumah penduduk, sangat berdekatan. Korban meninggal anak-anak enam (pada 2011) dan tiga orang orang (pada 2012) dalam waktu empat tahun."
"Jadi mereka berpikir ini lubang tambang, danau biasa untuk bermain. Dan tidak ada pengamanan dan areal itu terbuka begitu saja. Bahkan areal itu ditinggalkan begitu saja," ungkap Haris Balubun yang perihatin terhadap anggota keluarga korban meninggal.
"Pihak keluarga menyepakati untuk menyudahi jatuhnya korban, dan ini menjadi persoalan kami kepada semua pihak Pemerintah, ESDM, KLH, dan perusahaan yang sudah mengambil hasil tambang, lalu meninggalkan begitu saja. Karena perusahaan ini kan menerima izin, dan pemerintah yang memberikan."
Pemerintah Bertanggungjawab
Selanjutnya, menurut Haris Balubun, bahwa pemerintah dan pejabat daerah bertanggungjawab sebagai pemberi izin bagi perusahaan-perusahan tambang. Sedangkan perusahan tambang mengelak dituduh "tidak bertanggungjawab" karena sudah memberikan dana jaminan reklamasi (penggurukan).
"Kalau kami lakukan tuntutan kepada perusahan-perusahan tambang, akan dikembalikan ke pemerintah, yang memberikan ijin," kata Jubir JATAM.
Menurut Haris Balubun, perusahaan-perusahan tambang sudah memberikan dana reklamasinya, dan meskipun penambang itu telah diberikan kemudahan, tapi dana jaminan reklamasi tidak ada untuk masyrakat.
"Reklamasi untuk pengembalian wilayah, seperti semula. Itu tidak pernah terjadi. Bentuk reklamasinya seperti apa? apakah hanya sudah mengambil, lalu meninggalkan lahan begitu saja," ungkap Jubir JATAM.
"Sejak 2009 di Kalimantan tidak ada ijin lagi, karena sudah tidak ada lahan lagi untuk tambang, tapi yang ada justru adalah persoalan-persoalan dari dampak tambang," kata Haris Balubun menegaskan.
Gerakan Dua Derajat merupakan gerakan yang berupaya untuk memperjuangkan hak warga negara dalam mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat terutama dalam hal daya rusak perubaham iklim Indonesia. Gerakan dua derajat terdiri dari Civil Society Forum for Climate Justice Indonesia (CSF-CJI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Perkumpulan TELAPAK, WALHI, JIKALAHARI Riau, dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
Editor : Yan Chrisna
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...