Loading...
SAINS
Penulis: Melki Pangaribuan 14:45 WIB | Senin, 25 November 2013

JATAM: Pemerintah Jangan Tergesa Terima Dam Namuk

Dam Namuk, bekas tambang emas di Kutai Kertanegara. (Foto: Kaltimpost.co.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Tambang dan Lingkungan (LKMTL) Kutai Barat mendesak Pemerintah Indonesia menunda dan tidak tergesa-gesa menandatangani nota penutupan tambang dan serah terima Kawasan Pinjam Pakai seluas 6.750 Ha dari PT. Kelian Equatorial Mining (KEM) milik Rio Tinto.

Menurut JATAM, nota tersebut akan memindahkan beban tanggung jawab dalam mengurusi 77 juta ton tailing di dam Namuk, pelanggaran HAM, serta kerusakan lingkungan dan sosial yang belum juga dipulihkan dari PT. KEM atau Rio Tinto kepada Pemerintah Indonesia.

JATAM mengatakan, PT KEM milik Rio Tinto adalah perusahaan tambang mineral dan batubara terbesar di dunia asal Inggris, yang beroperasi sejak 1992 hingga 2004. Pertambangan ini menghasilkan 14 ton emas serta 13 ton perak setiap tahunnya. “Sejak mulai eksplorasi terjadi rentetan kasus pelanggaran HAM, mulai perampasan tanah masyarakat adat dayak, serta pertambangan rakyat, kekerasan hingga kejahatan seksual terhadap perempuan, hingga kematian Edward Tarung di Tahanan Polres Kutai Kertanagara,” tulis JATAM dalam siaran pers kepada satuharapan.com, pada Senin (25/11) di Jakarta.

Empat Masalah Serius

Menurut JATAM, masalah-masalah serius yang ditinggalkan perusahaan Rio Tinto, di antaranya: Pertama, dua dam berisi 80 juta ton limbah tailing di dam Nakan dan Namuk, berada di hulu Sungai Kelian dan Sungai Nyuatan yang mengalir hingga Sungai Mahakam. “Jelas ini bom waktu yang akan meneror Mahakam dan warga Kutai Barat,” ungkap JATAM.

Kedua, kasus kejahatan seksual terhadap puluhan perempuan Kelian oleh karyawan PT KEM sampai hari ini tidak jelas nasibnya. Kasus itu seolah dicuci lewat pemberian uang pengganti ‘malu’, tidak menggoreskan nota predikat kejahatan Rio Tinto sebagai pemilik 80 persen saham dalam PT KEM. Menurut Jatam, salah satu pelakunya, diduga bernama Ismail Thomas, kini menjabat sebagai Bupati Kutai Barat.

Ketiga, jaringan listrik yang dijanjikan tidak kunjung terwujud, bahkan di Kampung Tutung dan Kelian Dalam masyarakatnya hanya mengandalkan genset (alat pembangkit listrik). Ditambah lagi, kehidupan ekonomi masyarakat yang tidak menentu memaksa mereka masuk ke kawasan bekas tambang PT. KEM untuk mendulang emas secara tradisional. “Inilah yang memicu bentrok masyarakat dengan aparat keamanan, yang berujung dengan penembakan salah satu warga pada 2008,”kata JATAM.

Keempat, pengelolaan dana abadi sebesar USD 11,2 juta seperti yang tertuang dalam Komunike KPPT No. 5 27 Februari hingga 1 Maret 2002 sama sekali tidak transparan. Dana abadi yang tersimpan di bank HSBC Singapura tersebut bunganya dikelola oleh PT. Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL), sebuah badan hukum bentukan PT. KEM untuk melaksanakan reklamasi dan reboisasi kawasan pinjam pakai tersebut.

“Oleh karena itu, JATAM dan LKMTL dengan tegas menuntut kepada Pemerintah Indonesia untuk menunda penandatanganan dan serah terima Kawasan Pinjam Pakai hingga PT. KEM menyelesaikan semua tanggung jawabnya dan memulihkan hak masyarakat Lingkar tambang,” tuntut JATAM.

Ekspansi Ke Sulawesi

Sementara itu, JATAM mengemukakan, publik perlu mengetahui seluruh cerita pemburukan kehidupan sosial ekologi masyarakat Kelian karena perusahaan Rio Tinto hingga saat ini masih tetap dengan leluasa membuka dan merencanakan lokasi-lokasi tambang baru di Indonesia dengan berbagai macam wajah.

“Pada tanggal 13 Desember 2012, Menteri ESDM Jero Wacik menandatangani Kepmen No 3323 K/30/MEM 2012 tentang penciutan IUP Eksplorasi PT Sulawesi Cahaya Mineral yang semula seluas 50.700 (lima puluh ribu tujuh ratus) hektar (luas wilayah semula) dikurangi 6.633 (enam ribu enam ratus tiga puluh tiga) Hektar menjadi 44.067 (empat puluh empat ribu enam puluh tujuh) Hektar,” ungkap data JATAM.

Menurut JATAM, lokasi tambang ini berada di dua Kabupaten dan Provinsi, yakni Morowali Sulawesi Tengah dan Konawe Utara Sulawesi Tenggara. “Sudah sepatutnya Rio Tinto dihukum sebagai perusahaan paling berbahaya di dunia, atas kejahatan mereka di masa lalu. Agar tidak leluasa menciptakan ketidakadilan di bumi Sulawesi,” kata JATAM mendesak pemerintah Indonesia.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home