Jokowi Tegaskan Toleransi Nol untuk Terorisme
SINGAPURA, SATUHARAPAN.COM – Indonesia akan meningkatkan sanksi yang ada dalam undang-undang anti-terorisme untuk memberikan wewenang penuh kepada aparat yang berwenang dalam mengambil langkah-langkah pencegahan dan deteksi dini dalam menghadapi tindakan terorisme.
"Hal ini sangat penting untuk meningkatkan hukum kami ini," kata Presiden Joko Widodo kepada The Straits Times dalam sebuah wawancara, Senin (27/7).
"Kami akan menempatkan lebih banyak ketentuan dalam undang-undang sehingga bisa mencegah siapa pun yang berencana untuk meluncurkan serangan teror,” dia menambahkan.
Celah hukum yang ada mungkin saja dimanfaatkan, karena saat ini banyak ulama yang mengajak banyak pengikut untuk bergabung dengan kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).
Presiden Jokowi yang memimpin sebuah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, merujuk pada kasus bulan lalu yang melibatkan seorang ulama berusia 63 tahun, Afief Abdul Madjid, yang diberi hukuman penjara karena menggelar perekrutan prajurit ke ISIS.
Saat mendengar putusan vonis sang ulama hanya tersenyum – dia mengajak pergi ke Suriah untuk pelatihan militer dengan ISIS – hanya dijatuhi hukuman empat tahun penjara untuk tuduhan mendanai kamp pelatihan militer teroris di Aceh sekitar lima tahun yang lalu.
Para hakim menolak argumen Jaksa Penuntut Umum karena dalam dakwaan disebut kata “yang bergabung ISIS termasuk dalam rencana untuk meluncurkan serangan teroris”.
Menurut straitstimes.com Undang-undang anti-terorisme di Indonesia, yang dibentuk pada 2003 dibentuk atas dasar kasus terorisme bom Bali 2002 yang menewaskan 202 orang, bisa menghukum siapa saja yang menjalankan sebuah kelompok teroris. Akan tetapi dalam undang-undang tersebut pelaku terorisme hanya mendapat hukuman singkat, padahal saat ini penting untuk memperluas hukuman kepada siapa pun bagi yang menjanjikan dukungan atau bergabung dengan kelompok terorisme.
Jokowi mengatakan ia telah meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk bekerja sama dengan DPR agar Indonesia bisa memiliki hukum yang lebih preventif terhadap terorisme.
Ancaman dari ISIS, kata dia, merupakan salah satu keprihatinan terbesar, dia mencatat bahwa sebanyak 500 orang Indonesia yang bepergian ke luar negeri untuk mendukung kelompok terorisme.
"Bagi saya, stabilitas, keamanan sangat penting, di negara kami dan di wilayah kami," katanya. "Itu berarti bekerja sama, bekerja sama dengan semua negara untuk memecahkan masalah terorisme karena kami memiliki toleransi nol untuk terorisme,” dia menambahkan.
Untuk ini, kata dia, berbagi informasi dan intelijen di antara negara-negara untuk memerangi terorisme adalah suatu keharusan. Beberapa waktu lalu, Adhe Bhakti, peneliti di Pusat Radikalisme dan Studi Deradikalisasi, setuju dengan rencana Presiden Jokowi untuk memperkenalkan undang-undang untuk mengatasi masalah ISIS.
"Afief pergi ke Suriah dan berjanji setia kepada ISIS, mengikuti pelatihan militer dengan ISIS. Ini adalah jelas, namun ia bisa lolos,” kata Adhe.
Adhe menambahkan Indonesia sangat membutuhkan undang-undang yang menghukum siapa pun yang mendukung organisasi teroris, dan hukum lain yang mendefinisikan apa yang memenuhi syarat sebagai organisasi teroris, bukan hanya menyatakan ISIS sebagai organisasi teroris. (straitstimes.com).
Ikuti berita kami di Facebook
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...