Kafe Kopi Pertama di AS dengan Layanan Bahasa Isyarat
WASHINGTON, SATUHARAPAN.COM - Rebecca Witzofsky, seorang mahasiswi tuna rungu di Universitas Gallaudet di Washington dan temannya, Nikolas Carapellati sedang ingin menyesap segelas kopi.
Namun pada Selasa (23/10), Witzofsky akhirnya tidak harus susah payah menyampaikan pesanannya.
Retail kopi terbesar AS, Starbucks, membuka kafe pertama di AS yang memiliki layanan pemesanan dengan menggunakan bahasa isyarat, seperti dilaporkan kantor berita AFP.
Kafe ini dibuka di timur laut Washington dekat dengan kampus Gallaudet, yang merupakan satu-satunya universitas di dunia yang semua kurikulumnya dikhususkan untuk penyandang tuna rungu dan orang-orang yang mengalami kesulitan pendengaran.
Pada toko tersebut, semua pegawainya, yang hampir seluruhnya tuna rungu atau kesulitan mendengar, berkomunikasi dengan pelanggannya menggunakan bahasa isyarat.
Kafe tersebut terinspirasi dari sebuah toko yang buka di Kuala Lumpur, Malaysia pada 2016.
Toko tersebut tampak seperti toko Starbuck di pinggir jalan di ibu kota Amerika pada umumnya.
Para pegawainya mengenakan baju hitam dan celemek hijau yang menunjukkan logo perusahaan berada di belakang meja kasir untuk menyajikan minuman panas, minuman dingin dan kue kering untuk memuaskan pelanggan.
Meski padat pengunjung, terutama pada Selasa hari pembukaan, suasana di kafe tersebut cukup tenang, mungkin karena sebagai percakapan dilakukan dalam keheningan.
Bagi Witzofsky, kafe itu seperti pencerahan.
“Kafe tersebut memberi para penyandang tuna rungu, ruangan selain kampus. Tempat dimana kami dapat datang dan bersosialisasi, menyantap makanan dan bertemu dengan orang tuna rungu lainnya, dan juga pegawai yang penyandang tuna rungu,” katanya kepada AFP.
“Saat saya mendatangi kafe Starbuck yang normal, Saya tidak bicara dan berharap mereka dapat mendengar saya dan mengerti atau saya hanya menunjukkan pesanan saya lewat telepon genggam,” jelasnya.
“Di sini, namamu terpampang pada layar, hal ini saya sangat suka karena saat mereka memanggil nama saya, saya tidak perlu berusaha mendengar mereka, nama saya terpampang jelas pada layar,” kata Witzofsky.
Toko tersebut memiliki fitur lain yang dikhususkan untuk merangkul dan merayakan budaya tuna rungu, salah satunya adalah pelajaran bahasa isyarat melalui program “sign of the week” atau “bahasa isyarat untuk pekan ini.”
Saat ini, untuk isyarat untuk segelas kopi: dua genggam tangan, salah satunya ditaruh di atas tangan lainnya, memutarkan tangan seperti gilingan kopi.
Duduk di teras luar dengan secangkir kopi, pasangan yang sudah pensiun, Albert dan Peggy Hlibok. Mereka mengatakan bahwa mereka datang ke toko tersebut untuk “mengenal dan berbaur dunia pendengaran lebih lagi.”
“Saya pikir ini merupakan kesempatan yang bagus untuk kita semua,” kata Peggy dengan bantuan penerjemah.(VOA)
Editor : Melki Pangaribuan
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...