Kalah Banding, Kuasa Hukum Meliana Akan Ajukan Kasasi
Permohonan banding Meliana, terdakwa kasus penodaan agama, ditolak Pengadilan Tinggi Medan.
MEDAN, SATUHARAPAN.COM - Kuasa hukum Meliana, Ranto Sibarani SH, mengatakan siap mengajukan kasasi terhadap putusan pengadilan tinggi Medan yang sepakat dengan pertimbangan hukum dan putusan yang telah dijatuhkan pengadilan negeri sebelumnya.
“Kami secepatnya akan mengajukan kasasi setelah menyampaikan putusan ini kepada klien kami, Ibu Meliana, besok pagi (26/10),” ujar Ranto ketika diwawancarai VOA melalui telpon Kamis malam (25/10).
Majelis hakim pengadilan tinggi Medan yang dipimpin Daliun Salian SH, Kamis sore memutuskan perkara kasus Meliana, dengan menyatakan “sepakat dengan apa yang telah diputuskan oleh majelis hakim tingkat pertama atau Pengadilan Negeri Medan, baik mengenai pertimbangan, maupun amar putusannya.”
Ranto Sibarani mengatakan sejak awal telah pesimis dengan pengadilan tinggi Medan “karena masih dalam yurisdiksi Sumatera Utara.” Ditambahkannya, “perkara Meliana ini jelas perkara yang dipaksakan atau trial-by-the-mob sekadar untuk memenuhi kehendak massa.”
Tidak Obyektif
Ranto mengkritisi majelis hakim pengadilan tinggi yang “seharusnya bisa menilai secara obyektif semua berkas perkara yang diperiksa di pengadilan negeri Medan. Jelas-jelas Meliana didakwa melakukan tindak pidana pada tanggal 22 Juli 2016, sementara bukti-bukti disusun sedemikian rupa pada Desember 2016 – termasuk surat-surat pernyataan pemuka agama. Artinya barang bukti itu dibuat enam bulan setelah pidana dilakukan. Ini tidak masuk akal!”
Meliana (44 tahun), perempuan keturunan Tionghoa yang mengeluhkan volume pengeras suara azan, divonis 18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan pada 21 Agustus lalu karena dinilai melanggar pasal 156A KUHP yaitu dengan sengaja menunjukkan perasaan atau melakukan perbuatan di depan umum, yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Tidak lama setelah isu bahwa Meiliana mengeluhkan kerasnya suara azan pada Juli 2016 itu meluas, massa mengamuk dan membakar sedikitnya 14 kuil Budha di kota pelabuhan Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Sudah Siap dengan Putusan
Ditanya apakah Meliana sudah mengetahui putusan pengadilan tinggi, Ranto Sibarani yang memberikan pendampingan secara cuma-cuma mengatakan sudah sempat mendiskusikan kemungkinan putusan ini minggu lalu.
“Ibu Meliana sudah siap dengan putusan ini. Minggu lalu sudah kita diskusikan kemungkiinan ini. Kita memang pesimis dengan putusan di pengadilan tinggi. Biasa lah, takut didemo kalau putusan meringankan. Tapi kita optimis di putusan kasasi nanti.”
Ranto mengakui memang tidak mengirim memori banding, tetapi sudah mengirim akta permohonan banding pada 27 Agustus, atau enam hari setelah putusan pengadilan negeri.
“Tim kuasa hukum tidak memberikan memori banding karena pesimis bahwa perkara akan diperiksa secara obyektif di tingkat banding. Tim juga menilai pengadilan negeri dan pengadilan tinggi Medan telah melanggar pasal 236 ayat 2 KUHPidana yang mengatur bahwa selama tujuh ari sebelum pengiriman berkas perkara kepada pengadilan tinggi, pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari kasus berkas tersebut di pengadilan negeri,” katanya.
Salah seorang tim pengacara Meiliana, Ranto Sibarani, menguatkannya setelah putusan PN Medan (21/8). (Foto courtesy: pengacara Meiliana/dok)
Menurut Ranto, tim-nya tidak pernah diberitahu bahwa berkas telah dikirim ke pengadilan tinggi dan mereka tidak pernah diberi kesempatan mempelajari berkas tersebut. Ia menyangkal anggapan bahwa tim hukum Meliana tidak serius memperjuangkan nasib perempuan berusia 44 tahun itu.
Vonis 18 Bulan Penjara
Sebelumnya Pengadilan Tinggi (PT) Medan, Kamis (25/10) menolak permohonan banding yang disampaikan terdakwa kasus penodaan agama, Meliana. Humas PT Medan, Adi Sutrisno memastikan hal itu kepada wartawan seusai sidang pengadilan.
“Hari ini telah diputuskan perkara atas nama terdakwa Meliana yang putusan pada tingkat pertama telah diputus oleh PN Medan,” ujarnya.
Lebih jauh ditambahkannya bahwa majelis hakim yang beranggotakan tiga orang dan diketui oleh Daliun Salian itu menyatakan “sepakat dengan apa yang telah diputuskan oleh majelis hakim tingkat pertama atau Pengadilan Negeri Medan, baik mengenai pertimbangan, maupun amar putusannya.”
Meliana (44 tahun), perempuan keturunan Tionghoa yang mengeluhkan volume pengeras suara azan, divonis 18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan pada 21 Agustus lalu karena dinilai melanggar pasal 156A KUHP yaitu dengan sengaja menunjukkan perasaan atau melakukan perbuatan di depan umum, yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Tidak lama setelah isu bahwa Meliana mengeluhkan kerasnya suara azan pada Juli 2016, massa mengamuk dan membakar sedikitnya 14 kuil Budha di kota pelabuhan Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Beberapa Saksi Ahli Nilai Tidak Lakukan Penodaan Agama
Sebelum putusan pengadilan negeri itu, beberapa saksi ahli yang diajukan dalam persidangan sempat mempertanyakan penggunaan pasal karet itu. Antara lain Ketua Lakpesdam PBNU Dr. Rumadi Ahmad, yang kepada VOA mengatakan “memperhatikan ketentuan pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 – yang sedianya dikaitkan dengan pasal 156a KUHPidana itu, Meliana tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal itu sehingga tidak bisa dikatakan melakukan penodaan agama.” Meliana, ujar Rumadi, hanya menyampaikan dalam perbincangan kecil dengan beberapa orang tentang suara azan yang dinilainya terlalu keras.
“Kak, tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu Kak, sakit kupingku, ribut,” ujar Meliana kepada tetangganya sebagaimana dibacakan dalam tuntutan jaksa.
Dua Hal Berbeda
Lebih jauh Rumadi mengatakan azan bukan ashlun min ushuluddin, bukan pokok-pokok ajaran agama sehingga tidak bisa dijadikan dasar penodaan agama. “Azan dan pengeras suara dalam azan adalah dua hal yang berbeda. Mempermasalahkan pengeras suara azan tidak bisa dimaknai sebagai mempersoalkan azan itu sendiri,” tambahnya.
Pengeras suara azan menurutnya memiliki dua sisi, sebagai syiar Islam dan sekaligus berpotensi mengganggu kehidupan sosial, terutama pada masyarakat yang plural.
Masukan Konstruktif
Hal senada disampaikan Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan Robikin Emhas yang dalam persidangan mengatakan suara adzan terlalu keras itu bukan penodaan agama dan berharap “penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat.” Lebih jauh Emhas mengatakan pernyataan Meliana soal azan yang terlalu keras itu sedianya menjadi masukan yang konstruktif.
ICJR Sesalkan Putusan
Sementara ICJR menyatakan menyesalkan putusan pengadilan tinggi. Dihubungi melalui telpon Kamis malam, Direktur Eksekutif ICJR Anggara mengatakan “ICJR menyesalkan penolakan Pengadilan Tinggi Medan dalam memeriksa permohonan banding Meliana. Bagi kami, kasus ini membuktikan bagaimana pengadilan tidak secara cermat dan hati-hati memeriksa unsur-unsur dalam pasal 156a KUHPidana.”
Lebih jauh ditambahkannya, “pengadilan jelas tidak menerapkan asas-asas pembuktian secara ketat untuk menentukan pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus Meliana.”
Editor : Melki Pangaribuan
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...