Karlina Supelli: Tuduhan Politisasi HAM, Anti HAM
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Karlina Supelli menyebutkan pembahasan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dtuding sebagai upaya politisasi menunjukkan sikap tidak peduli dan tidak mau tahu terhadap perjuangan korban pelanggaran hak asasi.
“Orang yang dihilangkan dianggap tidak ada. Bukan orang itu ada lalu menjadi tidak ada, tetapi dianggap sungguh-sungguh tidak ada,” kata Karlina Supelli ketika memberikan kuliah umum ‘Hak Asasi Manusia, Impunitas, dan Melawan Lupa’ dalam Ramadhan and Human Rights yang diselenggarakan Omah Munir di Jakarta pada Rabu (2/7).
Di dalam cuaca politik menjelang pemilihan Presiden (pilpres) setiap perbincangan pelanggaran tentang HAM di masa lalu akan dicurigai sebagai politisasi HAM. Tetapi tuduhan itu tidak mengena.
“Jauh sebelum hiruk pikuk kampanye pilpres, para korban dan keluarga korban serta pembela HAM tidak pernah berhenti menyerukan tuntutan bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. Ratusan aksi dan surat mereka layangkan kepada Presiden, wakil rakyat, dan lembaga-lembaga yang berwenang. Ratusan kali pula surat itu tidak pernah digubris. Tidak dapat disangkal pilpres memperkeras tuntutan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM, khususnya kasus penculikan 1998 dan penghilangan paksa. Apakah ini suatu politisasi?”
Dia berpandangan rakyat mempunyai hak untuk mengetahui rekam jejak calon pemimpinnya. Apalagi ketika calon pemimpin itu terlibat dugaan kasus keji penghilangan orang.
Walau ada upaya korban pelanggaran HAM yang melakukan aksi berdiri membisu dengan berbaju hitam dan berpayung hitam di seberang istana setiap Kamis sore tetapi tidak menggetarkan penuntasan kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi. Padahal aksi setiap Kamis itu sudah menginjak tahun ke delapan dan berlangsung ke 357 kali.
Filsuf perempuan ini juga menyebutkan masalah lain yang dihadapi korban pelanggaran HAM saat ini disebutnya dengan ‘perjuangan ingatan melawan pelupaan’. Istilah yang dipinjam dari novelis Ceko Milan Kundera ini dipakainya untuk menggambarkan generasi Indonesia saat ini yang semakin asing dan lupa dengan pelanggaran HAM masa lalu.
“Seorang guru SMA Negeri terperangah ketika muridnya tidak tahu tentang tragedi Mei 1998, apalagi tentang penculikan, kekerasan 1965, Talangsari, dan sebagainya. Orang yang melek sejarah mengatakan itu bukan alasan untuk tidak tahu tentang peristiwa kelam yang pernah menimpa negeri ini. Inilah penjara kita. Persoalan baru bergulir dengan pesan kemendesakan sementara urgensi raksasa lama belum terselesaikan. Sementara politik terus melaju tanpa keberanian untuk merawat kemungkinan reformasi terjadi. Euforia media sosial pun melahirkan kekosongan yang kian gaduh sehingga orang lebih suka berkomentar ketimbang mencari tahu.”
Karlina Supelli menuturkan keadaan ini semakin membuat perjuangan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM memperoleh keadilan menjadi lebih berat.
“Mereka bukan saja berhadapan dengan pelupaan, tetapi pelupaan yang menambahkan ketidaktahuan generasi yang lahir kemudian. Di atas pelupaan dan ketidaktahuan itulah para pelanggar HAM menepuk dada dengan pongah dalam persengkokolan untuk melenyapkan sejarah.”
Dia menilai pelanggaran HAM akan terus berlangsung bila pengingkaran terhadap martabat manusia terus terjadi dan penyangkalan serta penolakan adanya korban dan pembiaran terhadap pelaku terus terjadi.
“Tanpa pemahaman itu tidak mungkin kita merancang masa depan yang memiliki mekanisme untuk mencegah peristiwa serupa terulang.”
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...