Kasus Intoleransi adalah Serangan Terhadap Kewibawaan Hukum
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Tasikmalaya Minggu (5/5) dini hari, dan berbagai kasus penyerangan oleh kelompok intoleran merupakan serangan terhadap kewibawaan hukum di Indonesia. Demikian dikemukakan oleh Direktur The Wahid Institute, Yenny Wahid, menanggapi kasus penyerangan tersebut.
Oleh karena itu, lembaga yang bergerak untuk menghormati pluralitas dan mempromosikan Islam yang damai itu mendesak pemerintah pusat untuk bertindak dan tidak diam seperti selama ini.
“Kejadian ini bukan kali pertama dan kemungkinan besar masih akan terjadi, apalagi jika pemerintah dan aparat pusat dan daerah menganggapnya sebagai perkara biasa,” kata Yenny.
Kalau pemerintah dan aparat hukum seringkali gagal mencegah kekerasan, kini saatnya membuktikan mereka mampu melakukan tindakan hukum terhadap pelaku kekerasan.
Kotroversi Penghargaan
“Khususnya Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono, Bupati Tasikmalaya, Uu Ruzhanul Ulum, dan aparat keamanan pusat dan daerah, didesak menyatakan sikap perang melawan tindakan teror oleh kelompok apapun dan atas nama apapun,” kata Yenny menegaskan.
“Serangan ini mencoreng citra Indonesia yang dianggap moderat. Namun hal itu meledak justru di tengah rencana pemberian penghargaan oleh Appeal Conscience Foundation, kepada SBY. Lembaga berbasis di Amerika dan mengklaim berjuang untuk kebebasan beragama dan hak asasi manusia itu hendak memberikan pengharagaan pada SBY sebagai negarawan dunia.
Seperti diberitakan sebelumnya, penghargaan ini sendiri mengundang banyak protes, karena selama ini, sebagai presiden SBY dinilai membiarkan saja kasus kekerasan kelompok intoleran. Selain itu, dari berbagai informasi ada indikasi terlibatnya kepentingan politik, sehingga terhadap kasus tersebut hokum tidak ditegakkan.
The Wahid Institute menghargai tindakan aparat kepolisian yang berusahal melindungi jemaat Ahmadiyah dari upaya intimidasi dan pembubaran oleh massa tersebut, sehari sebelumnya.
Namun, katanya, kepolisian belum bekerja maksimal untuk melindungi keamanan jemaat Ahmadiyah pada malam terjadinya penyerangan. Menurut dia, pada malam ketika massa mulai berkumpul pada pukul 23.00 WIB, aparat yang berjaga di lokasi jumlahnya tidak seimbang.
Tentang Pelaku
Tentang siapa yang melakukan penyerangan, menurut informasi yang diperoleh dari lembaga ini, masa menggunakan atribut Front Pembela Islam (FPI). Sedakan informasi dari FPI Tasikmalaya, mereka membantah organisasi itu terlibat, seperti diberitakan Tempo.co. Ketua FPI Tasikmalaya, Acep Sopyan mengatakan, "FPI tidak terlibat. Seandainya ada anggota FPI (terlibat) tapi atas nama pribadi, itu hak mereka. Tapi secara organisatoris FPI tidak terlibat," kata Acep.
The Wahid Institute mendesak agar pejabat pemerintah dan pihak-pihak yang selama ini cenderung tak berpihak pada hak-hak korban dan perlindungan terhadap warga negara untuk berpikir ulang bahwa serangan-serangan ini adalah buah dari serangkaian tindakan diskriminasi, intoleransi, pembiaran, bahkan pelanggaran nyata atas hak mereka.
Salah satu cara mengatasi aksi-aksi kekerasan ini adalah bahwa setiap masyarakat mulai menghentikan tindakan penyesatan, menyebar informasi yang tak benar, sebaliknya mengedepankan dialog yang terbuka.
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...