Kasus Pelanggaran HAM di Timor Leste Terabaikan
SATUHARAPAN.COM - Amnesti International, ANTI (Aliansi Nasional Timor Leste untuk Pengadilan Internasional), dan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dalam laporan yang dikeluarkan beberapa hari lalu, menyerukan kepada pemerintah Indonesia da Timor Leste segera mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi yang dibuat lima tahun lalu mengenai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan dalam konteks referendum kemerdekaan di Timor Leste, dulunya Timor Timur, pada tahun 1999.
Kegagalan implementasi rekomendasi-rekomendasi yang dibuat lima tahun lalu oleh sebuah komisi kebenaran bilateral Indonesia dan Timor Leste akan memperpanjang penderitaan korban dan keluarga mereka. Hal ini menjadi pertanyaan serius perihal komitmen baik bagi pemerintah Indonesia maupun Timor Leste untuk menjawab impunitas atas pelanggaran HAM masa lalu.
Kerabat dari mereka yang dihilangkan dan yang menghilang terus menyerukan pemerintah Indonesia dan Timor Leste untuk mencari orang-orang hilang yang mereka cintai. Bagi banyak keluarga, bahkan jika mereka yang dicintainya tersebut tidak kembali ke Timor Leste, hanya sekedar mengetahui bahwa mereka masih hidup dan baik-baik saja sudah cukup. Jika keluarga mereka telah mati, mereka ingin dapat mengubur mereka sesuai dengan tradisi dan budaya mereka.
Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) dibentuk Pemerintah Indonesia dan Timor Leste pada 2005 untuk mengungkapkan kebenaran konklusif terkait dengan peristiwa-peristiwa menjelang dan segera setelah jajak pendapat di 1999, dengan maksud lebih meningkatkan rekonsiliasi dan persahabatan, serta menjamin tidak terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.
Pada tanggal 15 Juli 2008, Komisi ini mempublikasikan laporan akhir yang menyimpulkan bahwa Indonesia menanggung pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang dilakukan pada tahun 1999.
Mandat Komisi ini tidak mencakup serangkaian pelanggaran HAM termasuk pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, penyiksaan, dan perkosaan, dan kejahatan kekerasan seksual lainnya yang dilakukan pasukan keamanan Indonesia dan kelompok pendukungnya selama masa pendudukan Indonesia tahun 1975-1999. Diperkirakan sekitar 18600 orang tewas dibunuh atau dihilangkan di Timor-Leste antara tahun 1974 hingga 1999. Lebih lanjut, beberapa ribu anak-anak dipercaya dibawa ke Indonesia selama periode ini tanpa persetujuan orang tua mereka atau di bawah paksaan.
Laporan KKP pada tahun 2008 merekomendasikan antara lain, Pemerintah Indonesia dan Timor Leste bekerja sama untuk menjelaskan nasib dan keberadaan dari mereka yang dihilangkan dan yang menghilang; membentuk suatu program pemulihan bagi para penyintas, khususnya penyintas kasus perkosaan dan kejahatan kekerasan seksual lainnya; dan bagi pemerintah Indonesia untuk mengakui dan meminta maaf atas penderitaan yang dibuat pada 1999.
Namun demikian, hingga saat ini kedua pemerintah telah secara umum gagal untuk mengimplementasikan banyak dari rekomendasinya, dan lebih memilih untuk memprioritaskan rekonsiliasi antara kedua negeri dan memperkuat hubungan bilateral.
Diperlukan tiga tahun sebelum Presiden Indonesia akhirnya mengeluarkan suatu Peraturan Presiden No.72/2011 menjabarkan sebuah rencana aksi implementasi rekomendasi KKP. Lebih lanjut, dalam pertemuan bilateral antara kedua negeri yang secara khusus dirancang untuk mendiskusikan rekomendasi-rekomendasi KKP tersebut, masalah-masalah seputar kebenaran dan reparasi atas kejahatan masa lalu – khususnya pencarian mereka yang dihilangkan dan yang menghilang – telah dipinggirkan.
Sebuah laporan pada 2011 oleh Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa (UN Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances, WGEID) menindaklanjuti kunjungan resminya ke Timor Leste menemukan bahwa banyak yang masih harus dilakukan untuk memperoleh kebenaran, keadilan, dan reparasi bagi mereka yang hilang dan keluarga mereka.
WGEID merekomendasikan bahwa pemerintah Timor Leste dan Indonesia untuk mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi KKP untuk menjelaskan nasib dan keberadaan dari orang-orang hilang, dan menyatakan bahwa prosesnya perlu menunjukan hasil yang konkrit dan positif bagi para korban.
Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR), juga merekomendasikan bahwa kedua pemerintah mengambil langkah-langkah untuk menjelaskan nasib dan keberadaan dari orang-orang yang menghilang dan yang dihilangkan. Namun demikian, rekomendasi ini dan banyak lainnya yang ditujukan untuk menjamin keadilan, kebenaran, dan reparasi bagi para korban dan keluarga mereka, secara umum diabaikan.
Lima tahun telah berlanjut, Amnesti International, ANTI, dan KontraS menyerukan pemerintah Indonesia dan Timor Leste agar mengambil langkah-langkah untuk menjamin bahwa rekomendasi-rekomendasi KKP yang ditujukan untuk menjawab kejahatan masa lalu dan penderitaan dari korban dan keluarga mereka diimplementasikan pada kesempatan sesegera mungkin.
Amnesti International, ANTI, dan KontraS juga merekomendasikan baik kepada pemerintah Indonesia dan Timor Leste agar korban dan keluarga mereka dapat mengakses keadilan, kebenaran, dan reparasi atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan selama pendudukan Indonesia dan memperoleh jaminan secara khusus.
Pertama, membentuk suatu komisi bilateral bagi orang hilang untuk mengungkap nasib dan keberadaan mereka yang menjadi korban penghilangan paksa selama periode pendudukan Indonesia pada tahun 1975 hingga tahun 1999, dengan perhatian khusus kepada semua anak-anak Timor yang dipisahkan dari keluarga mereka.â¨â¨
Kedua, mengambil langkah lebih lanjut untuk memastikan bahwa semua yang bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan lain di bawah hukum internasional selama pendudukan Indonesia dibawa ke muka keadilan dalam persidanganan yang sesuai dengan standar-standar internasional tentang keadilan, tanpa ada hukuman mati.
Ketiga, menyediakan reparasi yang penuh dan efektif bagi para korban pelanggaran HAM yang dilakukan di Timor-Leste antara 1975 dan 1999 yang mana Indonesia menanggung pertanggungjawaban.
Keempat, meratifikasi Konvensi Internasional bagi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, memasukan ketentuan-ketentuannya dalam hukum domestik dan mengimplementasikannya dalam kebijakan dan praktik untuk menjamin bahwa kejahatan ini tidak akan dilakukan lagi dengan impunitas di Indonesia atau Timor Leste.
Kelima, memasukannya pada perjanjian kerja sama hukum soal ekstradisi secara bersama-sama, dan dengan pemerintah-pemerintah lainnya.
Amnesti International, ANTI, dan KontraS juga menyerukan komunitas internasional untuk mendukung upaya memastikan keadilan, kebenaran, dan reparasi bagi para korban pelanggaran HAM dan kejahatan-kejahatan di bawah hukum internasional yang dilakukan selama pendudukan Indonesia. Secara khusus, komunitas internasional harus mendukung dan berkontribusi pada pembentukan suatu dana abadi (trust fund) menuju pendirian suatu program reparasi yang komprehensif bagi korban-korban kejahatan masa lalu.
Editor : Yan Chrisna
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...