Kebijakan AS Soal Palestina Dinilai Bias
RAMALLAH, SATUHARAPAN.COM - Kantor Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, pada hari Rabu (9/11) menyerukan agar presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, bekerja untuk terwujudnya sebuah negara Palestina, dengan upaya perdamaian dengan Israel yang telah lama terhenti.
Sementara itu, pihak Hamas yang menguasai wilayah Jalur Gaza, tidak melihat ada hal yang diharapkan dari terpilihnya Trump dan menilai kebijakan AS terhadap Palestina secara konsisten bias.
"Kami siap untuk bekerja dengan presiden terpilih atas dasar solusi dua negara dan untuk mendirikan negara Palestina dengan garis perbatasan pada tahun 1967," kata juru bicara Abbas, Nabil Abu Rudeina, seperti dikutip AFP. Dia mengacu tahun ketika Israel menduduki Tepi Barat.
Abu Rudeina mengatakan bahwa kegagalan untuk menyelesaikan konflik yang telah berlangsung puluhan tahun itu berarti "situasi yang tidak stabil akan terus terjadi di wilayah itersebut".
Palestina sejauh ini masih terpecah, dengan Abbas yang memimpin kelompok sekuler, Partai Fatah, mendominasi wilayah di Tepi Barat dan Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza.
Hamas menanggapi kemenangan Trump dengan mengatakan tidak mengharapkan perubahan di AS yang "bias" terhadap warga Palestina.
"Rakyat Palestina tidak mengandalkan banyak pada setiap perubahan kepresidenan AS karena kebijakan AS terhadap masalah Palestina adalah kebijakan yang konsisten atas dasar bias," kata juru bicara Hamas, Sami Abu Zuhri, seperti dikutip AFP.
"Namun demikian, kami berharap bahwa Trump akan mengevaluasi kebijakan ini dan menyeimbangkannya dalam masalah Palestina," katanya.
Upaya perdamaian Palestina – Irsael telah terhenti sejak perundingan oleh inisiatif pimpinan AS gagal mencapai kesepakatan pada April tahun 2014.
Masih banyak hal yang belum jelas tentang bagaimana Trump akan menggunakan pendekatan terhadap konflik Israel-Palestina. Namun dia telah mengeluarkan pernyataan kontroversial bahwa dia akan memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Trump mengatakan dia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Sementara berdasarkan perbatasan Palestina –Israel tahun 1967, wilayah Yerusalem Timur merupakan bagian dari Palestina dan dijadikan ibu kota Palestina.
Langkah Trump seperti itu akan mematahkan preseden yang sudah puluhan tahun terjadi, dan menempatkan Washington pada posisi bertentangan dengan hampir semua negara anggota PBB.
Sejauh ini, status kota Yerusalem merupakan salah satu masalah yang paling sulit dalam konflik Israel-Palestina.
Palestina melihat bahwa Yerusalem timur sebagai ibu kota negara itu pada masa depan mereka, sementara Israel menyebut seluruh kota Yerusalem sebagai ibu kota abadi mereka yang tak terpisahkan.
Editor : Sabar Subekti
Banjarmasin Gelar Festival Budaya Minangkabau
BANJARMASIN, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan memberikan dukungan p...