Kehati: Perdagangan Satwa Liar Kejahatan Serius
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Direktur Eksekutif Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati), MS Sembiring, mengatakan perdagangan satwa liar merupakan kejahatan serius.
"Bahkan United Nations Environment Programme (UNEP) sudah menyejajarkan posisi kejahatan perdagangan satwa liar dengan perdagangan narkotika dan korupsi," katanya di Jakarta, Senin (6/6).
Data Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015, memperlihatkan 190 kasus terkait kejahatan satwa dan tumbuhan liar yang dilindungi.
Pada bulan Februari 2016, World Wide Fund for Nature (WWF)-Indonesia juga mencatat terjadi 18 kejahatan satwa liar yang dilindungi. Angka tersebut adalah yang tercatat karena kasusnya diproses kepolisian.
Bahkan Forum Konservasi Gajah Indonesia mencatat sedikitnya 152 gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) mati sejak 2012.
Angka itu akan melonjak karena kepunahan sudah terjadi di 13 kantong habitat gajah, yang secara masif beralih menjadi kebun dan hutan monokultur.
Mitra lokal Kehati, Animal Indonesia, mencatat hewan-hewan yang jadi incaran perdagangan satwa liar adalah spesies eksotik seperti orangutan, harimau, badak, dan gajah untuk diambil gadingnya.
Direktur Utama Animal Indonesia, Suwarno, mengatakan bahwa permintaan terhadap satwa liar tetap tinggi, meski masyarakat sudah tahu kategori satwa langka dan dilindungi. "Semakin dilindungi, justru semakin mahal harganya," kata dia.
Namun, dengan permintaan tinggi tersebut, menurut Suwarno, pengawasannya masih relatif lemah. Selama ini kendali ada di tangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), yang sudah tersedia di setiap profinsi.
Animal Indonesia pernah menemukan kukang, lutung, trenggiling, dan bayi siamang, diperjualbelikan bebas di Pasar Minggu Bengkulu dan Pasar 16 Ilir Palembang. "Jumlahnya memang kecil, tapi transaksinya berlangsung terus," kata Suwarno.
Dari penegakan hukum yang kurang, Suwarno melanjutkan, masalah masih timbul dari hasil penegakan hukum, di antaranya spesimen satwa liar sitaan.
Menurut Suwarno, satwa-satwa yang disita, selama ini hanya dititipkan di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS), lembaga konservasi ex situ, kebun binatang dan beberapa pusat rehabilitasi, di mana PPS jumlahnya hanya ada satu di Pulau Sumatera, satu di Pulau Jawa, dan satu di Pulau Sulawesi, serta beberapa rehabilitasi.
Sementara itu, banyak kebun binatang yang enggan atau dipandang tidak mampu untuk menerima dan memelihara sementara titipan satwa sitaan.
Laporan UNEP tahun 2014 menyebutkan, perdagangan satwa liar biasanya diorganisasi oleh mafia atau kelompok kriminal yang beroperasi lintas negara. (Ant)
Editor : Sotyati
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...